Selasa, 30 Oktober 2018

Menodai Hari Sumpah Pemuda

4 komentar


TULISAN ini memang beraroma Hari Sumpah Pemuda. Secara tersurat, judulnya jelas-jelas menunjukkan hal itu. Yeah .... Mungkin kalian berpikiran kalau aku telat posting. Lha wong Hari Sumpah Pemuda sudah lewat, sudah pada tanggal 28 Oktober lalu, kok baru sekarang memposting tulisan tentang Hari Sumpah Pemuda. Haha! 

Sudahlaaah. Katanya lebih baik telat daripada tidak sama sekali. Lagi pula, telatnya 'kan sedikiiit doang.  Hihihi .... 

Tapi sebenarnya begini. Sejujurnya, semula aku malah tak hendak menulis tentang Hari Sumpah Pemuda. Bukan apa-apa, sih. Bukan sebab anti ataupun alergi pada Sumpah Pemuda, melainkan lupa. 

Iya. Lupa saja penyebabnya. Padahal setahun sebelumnya, aku sudah berencana menulis sesuatu tentang Hari Sumpah Pemuda. Sebelum ataupun tepat pada 28 Oktober. Eee, pas sudah tiba waktunya kok malah lupa menulis. Dasaar.

Lalu, mengapa sekarang tiba-tiba bisa ingat? Sebab kemarin aku bersilaturahmi ke mantan kampungku. Yakni kampung  yang kutinggali, sebelum aku berdomisili di dekat Titik Nol Jogja. Nah, nah. Saat bersilaturahmi itulah aku memperoleh cerita seru. 

Ternyata, oh, rupanya. Hari Minggu tempo hari, tepat pada tanggal 28 Oktober 2018, mantan kampungku punya acara. Yakni acara jalan sehat. Tentu dalam rangka peringatan Hari Sumpah Pemuda. 

Usai jalan sehat ada sarapan bersama. Menunya bubur dan aneka jajanan pasar. Asyik 'kan? Apalagi ada pembagian doorprize juga. Kemudian ada pula panjat pinang yang hadiahnya menggiurkan. 

Syukurlah hingga panjat pinang berakhir, acara berjalan lancar. Semua berjalan on the track. Yang kurang baik adalah cerita selanjutnya. Yakni cerita tentang kisruhnya pentas dangdut, yang sesungguhnya direncanakan sebagai gong acara. 

Ternyata, oh, rupanya. Pentas dangdut mesti dihentikan pada lagu kelima. Demi menghindari terjadinya kekisruhan yang lebih besar. Mengapa? Miras. Penyebabnya adalah miras. Minuman keras. 

Menurut cerita yang kudapat, sejak malam sebelumnya sudah ada pesta miras. Pesertanya hanya beberapa orang, sih. Tapi tetap saja ulah mereka itu bikin gerah warga yang lain. 

Yeah  .... Apa boleh buat? Sebagian warga kampung tersebut rupanya masih menggemari miras. Enggak tua enggak muda, sama-sama belum jera. Padahal, mereka sudah sering terlibat kekisruhan akibat miras. Sudah banyak pula  "kolega" mereka yang tewas akibat miras.

Singkat cerita tatkala hari H tiba, para pemabuk ternyata masih eksis. Maksudnya masih melanjutkan menenggak miras. Alhasil, terjadi perkelahian di antara mereka. Huft! Kerusuhan di antara sesama warga pun tak terhindarkan.  Maka demi keamanan, pentas dangdut langsung dihentikan. 

Sudah pasti peristiwa tersebut membuatku sedih dan marah. Hari Sumpah Pemuda yang misinya demikian mulia kok dinodai begitu. Sangat menyebalkan. 

Sumpah Pemuda itu mengusung semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Dari Sabang sampai Merauke. Dari Sumatra hingga Papua. Jadi, mengapa kita yang tinggal nguri-uri semangat tersebut justru bertindak gegabah? 

Sungguh ironis dan bikin miris, deh. Apa jadinya bangsa ini kalau banyak warganya, terutama kaum mudanya, yang hobi mabuk-mabukan? Duileee! Kapan majunya bangsa ini, dooong? 

Demikian ceritaku tentang peringatan Hari Sumpah Pemuda 2018. Meskipun aku yakin, di belahan bumi Indonesia yang lainnya ada acara-acara serupa yang lebih keren, tetap saja ceritaku itu bikin sedih. Memprihatinkan. Iya 'kan? 

MORAL CERITA:
Perlu ada upaya yang kontinu dan terorganisasi, untuk "meluruskan" semangat peringatan hari-hari penting nasional kita. 




Jumat, 26 Oktober 2018

Sekali Blogger Tetap Blogger

8 komentar
TENTU saja aku tidak lupa bahwa 27 Oktober merupakan Hari Blogger Nasional. Yaiyalah. Aku 'kan sudah berani menahbiskan diri sebagai blogger. Masak melupakannya begitu saja? Meskipun sekarang gaungnya sesepi hatiku, aku tak serta-merta menafikannya. 

Iya. Hari Blogger Nasional tetaplah bermakna bagiku. Dengan atau tanpa perayaan meriah. Subhanallah. Aku memang bertipe setia, ya? Huahaha .... 

Lagi pula sesungguhnya, aku tak pernah ikut dalam perayaan Hari Blogger Nasional. Kapan pun, di mana pun.  Lha wong aku aktif ngeblog saat semuanya telah berlalu, kok. Maksudku, saat pamor dunia blog Indonesia beranjak redup. Bahkan, setelah era blok-blokan di antara sesama blogger terleraikan. 

Ah, sudahlah. Sebaiknya kita tak usah memperbincangkan soal redup dan lerai itu, ya. Haha! Sebab kalau sekarang diperbincangkan lagi, secara panjang dan lebar, kukira enggak asyik. Ibarat mengoyak luka lama. 

Sudahlah. Apa pun dan bagaimanapun hal-hal yang melingkupi Hari Blogger Nasional, insya Allah aku tak terpengaruh. Aku tetap blogger. Entah dimasukkan ke kasta blogger yang mana, aku ora papa. Sing penting tetep nulis. Tetap ngeblog. Tentu dengan niatan lillahi ta'ala. 

MORAL CERITA:
Luruskan niatmu dalam ngeblog.


Hadir di acara instansi pemerintah pun oke

Belajar manuskrip di museum pun siap  

Diajak ke acara bisnis kuliner juga hayuuuk 

Selasa, 23 Oktober 2018

Masjid Siti Djirzanah di Malioboro

10 komentar
NGOMONG-NGOMONG nih ya, kapan terakhir kali kalian berkunjung ke Malioboro? Kalau sudah setahun lalu, pasti belum pernah tahu Masjid Siti Djirzanah. Aih! Jangankan setahun lalu. Yang tiga bulan lalu saja, pasti belum pernah tahu. Iya. Tentu saja begitu. Sebab baru pada tanggal 10 Agustus 2018, Masjid Siti Djirzanah diresmikan. Nah! Karena sekarang masih Oktober, usianya berarti belum genap tiga bulan. 

Masjid ini unik, lho. Arsitekturnya bernuansa khas Cina. Meskipun tak didominasi warna merah cetar membara, nuansa tersebut tetap terpancar kuat. Terlebih atapnya tanpa kubah. Bentuknya malah lebih mirip dengan atap klenteng. Cobalah perhatikan penampakannya berikut ini. 


Masjid unik yang  terletak di antara dua toko


Tulisan yang tercantum pada dinding luar depannya pun unik. Terdiri atas empat bahasa. Yakni bahasa Indonesia, Arab, Inggris, dan Mandarin. Sementara hurufnya terdiri atas huruf Latin, Arab, dan Mandarin. 

Dan sesungguhnya, masjid tersebut memang didesain dengan konsep Pecinan-Hindia. Yakni konsep yang sejalan dengan sejarah bangunan-bangunan tempo doeloe di Malioboro. Jangan lupa. Kampung Ketandan (Pecinan Jogja) pun berada di kawasan Malioboro. ***Bisa dibaca lebih komplet di "Kampung Ketandan  Yogyakarta".***

Dua Lantai 

Masjid Siti Djirzanah bukanlah masjid yang luas. Sementara pengunjung Malioboro yang membutuhkannya sangat banyak. Maka desain dua lantai adalah solusi jitu. Iya. Masjid Siti Djirzanah terbagi menjadi dua bagian. Bagian atas merupakan ruangan utama. Dipergunakan shalat oleh jamaah pria. Lalu di bagian bawah (basement) terdiri atas ruang shalat wanita, kamar mandi pria dan tempat wudu pria (di sebelah selatan), serta kamar mandi wanita dan tempat wudu wanita (di sebelah utara).

Dua foto berikut merupakan penampakan tangga yang menuju ke basement. Foto pertama penampakan dari atas (kujepret dari trotoar Malioboro). Foto kedua penampakan dari arah sebaliknya.

Lorong menuju basement (tempat shalat wanita)

Lorong menuju dunia luar (trotoar Malioboro)


Sekumpulan tas kain yang berwarna biru (tergantung di ujung tangga) itu adalah tas sandal/sepatu. Jadi begini. Jika hendak shalat di situ, alas kaki kita simpan di dalam tas biru tersebut. Tapi dibawa masuk, lho. Bukan dimasukkan tas dan ditaruh di luar masjid. Kok begitu? Demi keamanan dan kerapian, dong. 

Bayangkan saja andaikata sandal/sepatu jamaah tidak dibawa masuk. Pasti akan memenuhi trotoar Malioboro. Pasti akan berantakan pula sebab ketendang-tendang orang yang lewat. Atau, malah hilang dicuri. Jangan lupa. Malioboro itu 'kan area  publik yang sangaaat publik. Maka kewaspadaan sungguh diperlukan di sini. Daripada usai shalat malah emosi jiwa gara-gara kehilangan sandal/sepatu 'kan?  


Bersih, Menawan, Go Green

Masjid Siti Djirzanah memang menawan. Eksterior dan interiornya terkesan indah elegan. Sedap dipandang mata dengan sepenuh jiwa. Bagus dijadikan sebagai objek foto. Bukan hanya oleh kaum Muslim, melainkan oleh semua orang. Apa pun agama dan asal etnisnya. Buktinya, aku kerap memergoki (halah kayak maling saja) para turis asing mendokumentasikannya dengan tustel mereka. Ada yang turis Eropa, ada  pula yang turis Asia. Turis lokal pun tak kalah atraktif.

Bagian masjid yang paling menawan adalah ruangan utamanya. Yakni ruangan shalat untuk jamaah pria. Interiornya dipenuhi oleh granit impor berwarna biru. Etapiii ... berhubung aku bukanlah pria, aku pun hanya bisa melihatnya dari kejauhan (dari luar, dari emperan Malioboro). Tak memungkinkan untuk merangsek maju-masuk sebab aku ke situ saat Magrib. Banyak jamaah, ciiin. Ada pula petugas yang sigap mengarahkanku ke basement. Gagal memotret, deh.

Untunglah ada orang yang memvideokannya, lalu meng-up load-nya ke YouTube. Maka aku nikmatilah keindahannya dari link tersebut. Kalau kalian mau melihatnya juga silakan langsung ke Masjid Siti Djirzanah, Wujud Terima Kasih Herry untuk Malioboro. 


Suasana tempat shalat jamaah wanita


Masjid yang muat 200 jamaah ini tergolong bangunan Go Green. Desain plafonnya dibuat sedemikian rupa sehingga bisa memaksimalkan pencahayaan dari matahari. Dengan demikian, bisa menghemat pemakaian lampu (listrik).



 



Foto di atas memperlihatkan suasana di tempat wudu wanita. Sangat bersih 'kan? Semoga kebersihannya tetap terjaga sampai kapan pun. Tidak karena masih baru saja. O, ya. Aku berhasil mengintip (ini tindakan nekad) ruang wudu pria. Ternyata kondisinya idem ditto. Bagaimana kamar mandinya? Yang kamar mandi wanita kondisinya bersih. Kukira kamar mandi pria pun kondisinya tak beda. Yeah, kali ini aku hanya bisa menduga-duga. Tak mampu menyelundup ke kamar mandi pria, ciiin.


Siapa Siti Djirzanah? 

Siti Djirzanah adalah ibu dari Bapak Hery Zuhdianto, mantan walikota Yogyakarta. Dan sesungguhnya, Masjid Siti Djirzanah dibangun sebagai wujud bakti Bapak Hery Zuhdianto dan adik-adiknya kepada sang ibu. Itulah sebabnya nama ibu tercinta mereka disematkan sebagai nama masjid.

Pemilihan Malioboro sebagai lokasi berdirinya masjid pun memiliki alasan khusus. Selain untuk memenuhi kebutuhan masjid yang representatif di kawasan Malioboro, juga sebagai ungkapan terima kasih. Yakni ungkapan terima kasih Bapak Hery Zuhdianto dan adik-adiknya kepada Malioboro, yang dahulunya merupakan tempat mereka ditempa dan dibesarkan hingga bisa sesukses sekarang.

O, ya. Ada satu informasi penting yang mesti kusampaikan, nih. Penting namun sebenarnya agak menyedihkan. Informasi itu terkait dengan akses untuk kawan-kawan penyandang disabilitas. Untuk saat ini, Masjid Siti Djirzinah belum bisa memfasilitasi kawan-kawan penyandang disabilitas yang ingin beribadah ke situ.

Demikian sekelumit (tapi agak panjang) ceritaku tentang Masjid Siti Djirzanah. Jadi, kapan kalian hendak shalat di situ? Jangan lupa kabari aku, ya. Siapa tahu aku punya kesempatan untuk menyusul ke situ? 'Ntar kita 'kan bisa foto bersama? Haha! 


Lokasi Masjid Siti Djirzanah:
Jl. Margo Mulyo No. 25 Ngupasan Gondomanan Yogyakarta
(Di seberang Pasar Beringharjo)







Jumat, 19 Oktober 2018

Tahu Kisah "One Pound Fish Man"?

6 komentar
HALO Sobat Pikiran Positif ....

Kali ini izinkan aku bercerita tentang sesuatu yang telah lampau, yaaa. Haha! Bukan tentang sejarah, lho. Bukan pula tentang kenangan manis ataupun pahit yang kualami. Tapi tentang suatu kejadian sepele, yang berujung membuatku terhibur sekaligus termotivasi. 

Begini ceritanya ....

Sekitar lima tahun lalu, pada sebuah siang yang gerah, aku merasa begitu bĂȘte. Capek jiwa dan raga setelah menyelesaikan DL kerjaan naskah. Lalu, kuputuskan untuk menonton TV. Pilihanku jatuh pada stasiun TV yang komoditi utamanya program-program berita.

Kebetulan ketika aku klik saluran TV tersebut, ada tulisan “WIDE SHOT”. Pikirku, “Apa nih?”

Benakku pun masih penuh pertanyaan saat ditayangkan sebuah video klip. Dalam video tersebut tampak seorang pria berkemeja necis bernyanyi. Dua wanita cantik menjadi penari latarnya. Karena ketiganya berwajah India, aku bergumam, “Wuih! Nyanyian dan tarian India kreasi baru, nih.”

Aku menonton sembari tersenyum-senyum geli. Lagunya lucu, sih. Judul lagu yang dinyanyikan si pria necis adalah “One Pound Fish”. Sementara liriknya seperti ini: common ladies, common ladies/ one pound fish, one pound fish/ very good/ very cheap…

“Ada apa dengan ikan?” Pikirku. “Ini lagu tentang apa? Tentang jualan ikan? Aih, ada-ada saja.” Belum usai aku menggumam dalam hati, muncul dua penyiar. Sebagaimana laiknya penyiar, mereka pun cuap-cuap membawakan acara. Menjelaskan tentang si penyanyi dan lagu yang dibawakannya.

Aku sedikit terperangah. O la la! Ternyata dugaan isengku benar. Itu memang lagu tentang jualan ikan. Liriknya berupa kalimat-kalimat untuk menawarkan ikan kepada para calon pembeli. Penyanyinya pun seorang penjual ikan!

Iya. Si pria berpakaian necis itu mulanya berjualan ikan. Tapi nasib bagus kemudian mengantarkannya menjadi seorang penyanyi. Bagaimana bisa begitu? Bisa, dooong.

Begini ceritanya ....

Muhammad Shahid Nazir, seorang pemuda Pakistan (jadi dugaanku berdasarkan wajah tadi salah, ya), nekat merantau ke negeri Ratu Elizabeth. Niatnya mencari penghidupan yang lebih baik. Tapi ternyata Nazir kurang mujur. Sudah berada di tanah rantau selama 3 bulan, pekerjaan tak kunjung diperolehnya. Bekalnya yang pas-pasan pun kian menipis.

Dengan setengah putus asa, Nazir memikirkan tentang keputusan untuk pulang ke Pakistan. Namun tepat pada saat itulah, ada yang menawarinya untuk membantu berjualan ikan. Serta-merta ia mau daripada menganggur.

Sebagai asisten penjual ikan, Nazir bertugas menawarkan ikan. Sang majikan menyuruhnya lebih atraktif-agresif dalam menawarkan. Tujuannya agar makin banyak calon pembeli yang tertarik.

Karena masih kesulitan berbahasa Inggris, Nazir berinisiatif menyanyikan saja kata-kata penawarannya. Menurutnya, kalau dinyanyikan bisa lebih cepat cara bicaranya. Maka tak begitu ketahuan kalau bahasa Inggrisnya masih belepotan.

Mula-mula sih, Nazir kurang pede menawarkan. Apalagi dengan cara bernyanyi di tengah keramaian pasar. Tapi ternyata, banyak orang yang menyukai gayanya itu. Dampaknya, rasa pede Nazir kian membuncah. Ia pun kemudian berani menawarkan dengan suara lantang.

Hasilnya bagus. Makin banyak orang yang tergerak menoleh ke arahnya. Dan, membeli ikannya. Hingga akhirnya ada seseorang yang merekam aksi Nazir, lalu meng-upload-nya ke YouTube. Otomatis makin tenarlah Nazir. Banyak orang yang kemudian menemuinya, sekadar untuk bersalaman ataupun berfoto bersama.

Kabar ketenaran Nazir pun hinggap di telinga seorang produser lagu. Tepatnya produser spesialis lagu-lagu bernuansa Asia. Alhasil, ditawarilah Nazir untuk rekaman. Iyaaa... lagunya ya "One Pound Fish" itu. Sungguh-sungguh orisinil dari kata-kata Nazir untuk menawarkan ikan jualannya.

Ya, sudah. Kisah Nazir berlanjut manis. Ia menjadi penyanyi dadakan berkat YouTube. Namun, ketenaran tersebut jadi bumerang. Pihak imigrasi Inggris kemudian meneliti latar belakangnya. Sebab ketahuan izin tinggalnya di negara itu tidak komplet, Nazir lalu dideportasi ke Pakistan.

Hmmm, tak mengapa. Toh penghidupan Nazir sudah jauh lebih baik. Sebagaimana yang diharapkannya ketika memutuskan untuk nekat merantau. Bahkan, suksesnya melalui waktu dan cara yang tak terduga-duga.

Setibanya di Pakistan, sang ibu dan istrinya pun menyambut Nazir dengan perasaan campuran. Yakni campuran antara senang dan setengah tak percaya. Maklumlah. Nazir menjelma jadi penyanyi dalam kurun waktu yang begitu cepat. Padahal sebelumnya, Nazir sama sekali tak pernah bermimpi untuk jadi penyanyi.

Begitulah kenyataan hidup. Acap kali tak terduga. Dan, siapa pula yang menduga bahwa pekerjaan remeh temeh sebagai asisten penjual ikan ternyata merupakan sinyal-Nya? Yakni sinyal yang mengarahkan Nazir menuju jalan sukses berikutnya.Yang pastinya lebih berwarna.

Iya, lho. Muhammad Shahid Nazir selepas dideportasi malah kian beraneka warna pengalaman hidupnya. Bisa dilihat di sini ini, nih.


MORAL CERITA:
Jangan remehkan pekerjaan yang terlihat sepele. Siapa tahu pekerjaan sepele itu justru merupakan batu loncatan untuk kesuksesanmu yang sesungguhnya?



Selasa, 16 Oktober 2018

Seberapa Greget Teplokmu?

8 komentar

Teplok zadoel berhiaskan foto artis zadoel (tanpa semprong sebab semprongnya dijual terpisah)



BELAKANGAN ini di linimasa FB-ku berseliweran status yang diawali dengan kalimat "Seberapa greget hidupmu?  atau "Seberapa gregetnya kamu?" atau kalimat lain yang serupa. Maka wajar bila aku tergoda untuk memberikan judul "Seberapa Greget Teplokmu?" pada postingan ini. Hehehe .... 

Ngomong-ngomong, kalian tahu teplok 'kan? Yup! Foto di atas adalah foto si teplok. Dua foto di bawah juga merupakan foto teplok. Maka tanpa aku deskripsikan dengan kata-kata, kalian pasti sudah langsung paham. Jadi tak ada alasan bagi kalian untuk mempertanyakan what is the teplok, ya?

Tapi baiklaaah. Karena aku baik hati dan tidak sombong, 'kan kusampaikan sekalian definisi teplok. Tak main-main. Yang akan kusampaikan adalah definisi menurut KBBI, lho. Maka silakan disimak baik-baik. Oke?

Begini. Menurut KBBI, teplok adalah lampu tempel yang bersumbu dan menggunakan bahan bakar minyak. Maka jika ada benda berbentuk teplok yang sumber cahayanya dari aliran listrik, itu pasti teplok gadungan. Sebenarnya bohlam atau bola lampu listrik. Bukan teplok melainkan bohlam berbentuk teplok. 
 

Dihiasi foto artis zadoel semua


Barang Kenangan dan Saksi Sejarah

Eh? Tunggu, tunggu. Teplok itu berbahan bakar minyak? Pasti maksudnya minyak tanah 'kan? Bukan minyak goreng? Yaiyalaaah minyak tanah. Masak minyak goreng?

Nah, itu dia masalahnya. Pada zaman now, bukankah minyak tanah langka di pasaran? Susah mendapatkannya. Harganya pun lebih mahal daripada abonemen listrik. Berarti pengguna teplok siap hidup boros, dong. Berani ribet juga demi mendapatkan minyak tanah? Hohohoho .... 

Begini, begini. Teplok ini 'kan memang barang zadoel. Pada zaman now sudah menjadi barang kenangan. Rasa-rasanya sekalipun listrik sedang padam, orang lebih memilih menyalakan lilin daripada teplok. Jadi artinya, pada zaman now orang memiliki teplok bukan difungsikan sebagai alat penerang. 

Lalu difungsikan sebagai apa, dong? Tak lain dan tak bukan, ya difungsikan sebagai hiasan belaka. Tepatnya sebagai hiasan dan saksi sejarah. Coba deh, perhatikan baik-baik. Bukankah teplok-teplok dalam foto itu lumayan unyu bentuknya? Cocok dijadikan sebagai pemanis ruangan.

Bagaimana halnya dengan fungsi sebagai saksi sejarah? Hmmm. Maksudnya si teplok bisa menjadi pengingat akan perjalanan hidup pemiliknya. Yakni perjalanan hidup tatkala listrik belum merambah ke segenap pelosok Indonesia.

Dahulu ketika senja tiba, semua orang sibuk menyalakan teplok dan aneka jenis lampu minyak lainnya. Maklumlah. Listrik masih terbatas mengalir di wilayah perkotaan.  Alhasil, teplok menjadi sahabat bagi para pelajar. Yang setia menemani malam-malam mereka dalam mengupayakan masa depan cerah (baca: dalam belajar dan bikin PR). 

Yang seru, bila nyala teplok kebesaran saat kita tidur. Dijamin ketika bangun tidur wajah kita bakalan berjelaga. Haha! Ini sih, saksi sejarah untuk para remaja angkatan Dilan. Terkhusus yang berdomisili di pedesaan. Termasuk dakuuuh. Huahahahaa ....

Model lain yang dikompleti semprong (semprong adalah tutup kacanya itu)

Tahukah kalian? Pada zaman now selain diproduksi untuk kepentingan hiasan, teplok pun diproduksi dalam bentuk kecil-kecil. Tujuannya sebagai souvenir. Misalnya sebagai souvenir pernikahan. Unik bin seru 'kan? Jadi, kapan kalian nikah dan souvenirnya berupa teplok mungil unyu? #nyengiiiir

O, ya. Yang paling asyik tuh bila kalian punya teplok warisan. Yakni teplok zaman old yang dulunya berfungsi sebagai alat penerangan di rumah kalian. Selain dapat difungsikan sebagai hiasan, bukankah bisa menjadi the original saksi sejarah perjalanan hidup kalian? Malah jauh lebih greget daripada teplok hiasan yang terpampang di foto-fotoku itu. Haha!

Demikian cerita singkatku mengenai teplok. Semoga bisa membahagiakan dan menambah wawasan perteplokan kalian. Ngomong-ngomong, teplok berhiaskan foto artis zadoel seperti itu bisa dibeli di Toko Progo Yogyakarta, ya. 

MORAL CERITA:
Selalu ada kisah menarik di balik barang zadoel. 

 

Jumat, 12 Oktober 2018

Perihal 'Unfinished Business'

6 komentar
SEMALAM aku membaca sebuah status FB yang menarik. Tepatnya menarik dan sangat berfaedah. Statusnya panjang dan membahas sesuatu yang serius bin penting. Iya. Pentiiing bangeeet. Betapa tidak penting? Terkait dengan psikologi, lho. Sementara kita sama-sama mafhum bahwa hal-hal yang berbau psikologi notabene berhubungan dengan kesehatan jiwa.

FINISH YOUR 'UNFINISHED BUSINESS' .... Demikian judul status panjang tersebut. O, ya. Penulisnya Mbak Andri, lulusan Fakultas Psikologi UGM. Maka aku berani memastikan bahwa status tersebut sahih adanya.  Dan selanjutnya, sukses bikin aku merenung. Haha! Sungguh syahdu, bukan? Semalam tuh malam Jumat dan aku melewatinya dengan melakukan sebuah perenungan psikologis.

Lalu, apa arti 'unfinished-business’? Mbak Andri menjelaskannya begini. 'Unfinished-business’ itu secara sederhana bisa dimaknai sebagai ganjalan di masa lalu yang belum terselesaikan dan masih terbawa sampai sekarang. Contohnya cinta yang belum kelar, rasa sayang yang belum terucap, rindu yang tak pernah sampai, dendam yang tak berkesudahan, rasa bersalah pada seseorang, perasaan menyesal atas sebuah kesalahan di masa lalu, kemarahan yang disimpan, maaf yang belum sempat terucap, dan banyak hal lainnya.

Nah, nah. Contoh yang diberikan Mbak Andri itu sukses bikin aku tertawa-tawa geli. Terkhusus pada tiga contoh pertama. Hehehe .... Betapa tidak geli, coba? Membaca tiga hal pertama yang dicontohkan tersebut, mendadak tiga wajah terpampang di benakku. Komplet beserta 'unfinished business' masing-masing. Dahsyat 'kaaan?

Wajah pertama punya 'unfinished business' berupa rasa sayang yang belum terucap. Wajah kedua punya 'unfinished business' berupa rindu yang tak pernah sampai. Dan, wajah ketiga punya 'unfinished business' berupa rasa cinta yang belum kelar. Huahahahaha ....

Dan aku sungguh penasaran, masing-masing pemilik wajah tersebut sekarang sudah bisa move on atau belum. Idealnya sih, sudah bisa mulai move on. Tapi itu 'kan idealnya. Faktanya bagaimana? Faktanya segala perilaku ketiga pemilik wajah tersebut masih terlihat labil-labil bergembira. Belum dapat disebut mulai move on.

Yeah! Parah mereka tuuuh. Rupanya mereka masih menggendong 'unfinished business' ke mana-mana. Padahal idealnya, 'unfinished business' harus diselesaikan. Sebab kalau tidak, selamanya bakalan menjadi ganjalan di hidup kita. Bakalan merongrong kebahagiaan kita. Enggak asyik banget 'kan? 

Etaaapiii, bagaimana halnya dengan diriku sendiri? Haha! Setelah kuingat-ingat, beberapa jam sebelum membaca status Mbak Andri, aku ternyata barusan marah-marah pada sosok yang memang ingin kumarahi sedari dulu. Sejak ia dengan kurang ajar bin jahat mempecundangi hidupku. Alhamdulillah. Hihihi .... Berarti aku telah menyelesaikan 'unfinished business' yang kupunyai. 

Demikian ocehanku mengenai 'unfinished business'. Semoga bermanfaat dunia wal akhirat bagi kalian dan aku. Aamiin. 

MORAL CERITA: 
Sudahlah, sudah. Move on aja, kuuuy! Mari selesaikan 'unfinished business' yang kita punya.





Selasa, 09 Oktober 2018

Aku dan Karya Seni

0 komentar
Berusaha memahami sepenuh hati


SUNGGUH aku tak menyangka bahwa ada interaksi bagus di antara kami. Bagus dalam arti konsisten dan berkesinambungan. Halah, halah. Istilah apa ini? Haha! Sudahlah. Gampangannya tuh, tak pernah ada cekcok di antara kami. 

Yoiii. Meskipun tak selalu memahaminya dengan baik, aku tak pantang menyerah. Faktanya begitu. Sungguh. Setakpaham-takpahamnya aku, belum pernah ada sedikit pun niatku untuk meninggalkannya. 

Alih-alih meninggalkan. Aku justru berusaha lebih keras supaya dapat paham. Bukankah kata D'Massiv, "Jangan menyerah, jangan menyerah  ...."


Duduk dulu, ah ....


Aku tak sekadar omong, lho. Bukankah kalian telah melihat sendiri buktinya? Dari foto-foto yang terpampang di postingan ini. Yeah,  lihatlah! Lihatlah betapa bahagianya aku berada di dekatnya. Dan, tahukah kalian? Rasa bahagia hanya akan terpancar dari sebuah keharmonisan. Tepat persis dengan keharmonisan yang ada di antara aku dan karya seni.

Nah, nah. Sampai di sini kalian baru ngeh 'kan, kalau "kami" yang kumaksudkan adalah "aku" dan "karya seni"? Bukan "aku" dan "dia yang ada di sana". Hehehe .... 



Menurutmu, apa makna foto ini?


Kiranya sudah menjadi takdir Ilahi, jika hidupku kerap bersinggungan dengan karya seni. Bagaimana, ya? Rasanya tuh selalu mudah bagiku untuk mengakses karya seni. Ada saja yang mencolekku untuk ke pameran karya seni. Baik yang berbayar maupun yang gratisan 

Meskipun berdompet tipis, aku mau-mau saja tuh membeli tiket masuk ke sebuah pameran karya seni. Padahal acap kali, harga tiketnya setara dengan biaya makanku seharian. Demi apa, coba? Mungkin ya demikian saja adanya. Haha!

Aku tahu bahwa beberapa teman menganggapku boros. Mengatakan bahwa sikapku absurd. Tak punya penghasilan tetap kok sok-sokan membeli tiket pameran karya seni. Yang berarti menghambur-hamburkan uang.


Aku dan ikan-ikan (palsu)



Apa boleh buat? Aku mesti berusaha memaklumi munculnya anggapan-anggapan miring tersebut. Faktanya, saat ini dompetku memang cenderung tipis. Faktanya pula, tak ada keuntungan materiil yang langsung kudapat dari pameran karya seni yang kudatangi itu. Bukankah secara kasat mata, yang kudapat hanyalah foto-foto narsis bersama karya seni?

Padahal sesungguhnya, aku nonton tak sekadar nonton. Meskipun tak selalu paham sepenuhnya, insya Allah aku selalu membawa pulang beberapa poin penting. Antara lain (1) bertambahnya pengetahuan plus wawasanku mengenai dunia seni terkini; (2) menguatnya motivasiku untuk terus berkarya di bidangku; (3) munculnya inspirasi-inspirasi tertentu di benakku, yang bikin aku kembali merasa "hidup".


Bersama sang seniman berikut karyanya


Jadi sepulang dari pameran karya seni, aku menjadi lebih bersemangat. Lebih termotivasi untuk berprestasi. Untuk berkarya sesuai dengan bidang yang kugeluti. Atau paling tidak, aku menjadi terinspirasi untuk lebih menghargai karya seni beserta senimannya. Mimimal aku bisa mengurangi beban stres akibat terkepung berita-berita politik. Haha!

 
MORAL CERITA: 
Sesekali nikmatilah karya seni demi menjaga kewarasan jiwamu.



Selasa, 02 Oktober 2018

NYOLET di Jogja

6 komentar
PERNAH mendengar istilah nyolet dan paham artinya? Pernah bertemu dengan seorang tukang nyolet? Nyolet lho, ya. Bukan nyolot. Bukan pula nyolek ataupun nyopet.

Kalau memang belum, katakan saja belum. Tak usah malu-malu harimau gitu, deeeh. Haha! Tapi tenang sajalah. Kalau mau membaca tulisan ini hingga titik penghabisan, kalian dijamin bakalan paham arti nyolet.

Andaikata tidak merantau ke Jogja, kemungkinan besar aku pun tak paham tentang nyolet. Jikalau tak kenal dengan beberapa tukang nyolet, aku tentu tak bakalan ngeh kalau di dunia ini ada pekerjaan sebagai tukang nyolet. Hehehe ....

Lalu, what is the nyolet? Hmmm. Nyolet adalah salah satu proses dalam membatik. Yakni proses pewarnaan bagian-bagian tertentu pada motif yang telah dibuat di kain, dengan menggunakan kuas.

Ingat. Mewarnai dengan kuas lho, ya. Bukan mewarnai yang sambil direbus itu. Maka cara kerja seorang tukang nyolet sepintas lalu tampak sangat mudah. Tinggal celup-celup kuas, kemudian mengoleskannya ke kain.

Padahal sesungguhnya, perlu cara dan rasa tertentu untuk nyolet. Tidak bisa sembarangan asal mengoleskan pewarna. Harus dijaga supaya tidak mleber-mleber (belepotan ke mana-mana). Tingkat ketebalannya pun harus pas supaya dalam proses pembatikan selanjutnya tidak luntur. Jika sampai kurang pas, si tukang nyolet pasti diminta untuk mengulangi pekerjaannya. 

Sampai di  sini, kalian sudah paham tentang nyolet dan tukang nyolet 'kan? Insya Allah sudah, deh. Tapi supaya lebih jelas, berikut aku tampilkan sebuah foto pelengkap. Yup! Foto di bawah ini memperlihatkan selembar kain (calon) batik yang sedang diangin-anginkan setelah proses nyolet.




Setelah kering, lembaran kain (calon) batik tersebut bisa dilipat. Atau, ditumpuk dengan sesamanya. 'Kan sudah aman. Tidak bakalan mbleber-mbleber. 

Sejauh pengamatanku, dalam sehari seorang tukang nyolet bisa merampungkan 4-5 lembar kain (calon) batik. Itu dalam ritme biasa (tidak ngebut) dan motif batik tak rumit, lho. Kalau motifnya rumit bisa lebih lama waktu penyoletannya. Yang artinya, hasil nyolet dalam sehari akan berkurang. Kalau biasanya menghasilkan 5 lembar ya bisa menjadi 3 atau 4 lembar saja.

Demikian sekelumit ceritaku tentang dunia nyolet di Jogja. Tapi aku yakin, tukang nyolet tentu tidak hanya ada di Jogja. Pekerjaan nyolet pastilah akan eksis di daerah-daerah penghasil batik yang lainnya. Iya 'kan? 

MORAL CERITA:
Ternyata berkenalan dengan banyak orang dengan rupa-rupa pekerjaan itu amat berfaedah. Paling tidak jadi punya bahan untuk posting di blog kayak gini. Haha! 




 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template