PADA sebuah sore yang sedikit mendung, aku kembali berwisata buku. Lokasinya seperti biasa. Yakni di sebuah toko buku kenamaan. Yang cabangnya tersebar di seantero Indonesia itu, lho. Yang namanya diawali dengan huruf "G" dan diakhiri dengan huruf "A".
Karena wisataku sore itu bukan wisata yang terencana, tak bermaksud mencari referensi apa pun, aku berkeliaran bebas. Yoiii. Bebas yang sebebas-bebasnya gitu. Tapi maksudnya bukan melihat-lihat buku sembari koprol atau guling-guling, ya. Itu sih gemblung namanya. Haha!
Yeah .... Sebab bingung hendak menenggelamkan diri di bagian rak yang mana, aku bagai kutu loncat. Hinggap di koleksi novel, lalu berpindah ke koleksi buku anak. Sejurus kemudian ke koleksi buku sastra, lalu ke bagian majalah. Pokoknya galau-galau kutu buku gitu. Eh? Kutu loncat atau kutu buku sebenarnya? Hehehe ....
Alhasil setelah sekian menit berjalan, sebuah kesadaran melintas di hatiku. Tepatnya sebuah ilham baik menghampiriku. Mendesakku untuk menenggelamkan diri ke koleksi buku-buku keagamaan.
Ya sudah. Karena merupakan seorang penurut ilham baik, segera saja aku beranjak ke deretan buku keagamaan. Sudah pasti buku keagamaan Islam, ya. Aku 'kan seorang muslimah.
Setelah comot buku ini buku itu, tentu plus membaca-baca sekilas isi masing-masing buku yang kucomot, akhirnya kupilih satu buku. Kuputuskan untuk menenggelamkan diri dalam lautan kalimatnya. Tentu dengan niatan untuk belajar atas nama-Nya.
Apa judul bukunya? Rahasia. Siapa penulisnya? Rahasia juga. Haha! Tapi yang jelas, buku pilihanku itu memberiku kejutan. Begitu kubuka-buka halaman data pustakanya, oh la la! Ada sebuah nama yang sangat kukenal tercantum di situ. Sudah pasti berikut judul bukunya, yang juga sama-sama sangat kukenal. Octavia Pramono!
Halaman yang bikin aku terhenyak |
Seketika bahuku terasa seperti ditepuk kuat-kuat. Kembali disadarkan akan sesuatu. Yakni disadarkan untuk selalu berhati-hati dalam menulis. Terkhusus menulis buku. Ya. Bukankah kita tidak pernah tahu,
siapa saja yang bakalan membaca tulisan-tulisan kita? Apa saja dampaknya bagi mereka?
Jangankan tulisan dalam sebuah buku. Tulisan dalam status-status medsos kita pun demikian. Bisa dibaca siapa saja. Bisa berdampak apa saja terhadap para pembacanya. Kalau tulisan kita mengandung kebaikan, pembacanya bisa terinspirasi untuk berbuat baik. Kita kebagian pahala 'kan?
Jangankan
status yang kita bikin. Komentar kita terhadap status orang lain pun
bisa dibaca oleh siapa saja. Dapat mendatangkan dampak apa saja kepada para pembacanya. Kalau tulisan kita mengandung keburukan, pembacanya bisa terinspirasi untuk berbuat buruk. Kita kecipratan dosa 'kan?
Maka kita wajib berhati-hati dalam menulis apa pun. Baik dalam tulisan yang berbentuk buku, artikel, status medsos (FB, Twitter, IG, blog), maupun komentar-komentar di medsos. Sekali lagi, berhati-hatilah. Jarimu harimaumu. Jarimu tiket surgamu.
Alhamdulillah. Wisata buku dadakan yang kulakukan sore itu ternyata berfaedah pada ujungnya. Semoga postingan ini berfaedah juga bagi kalian.
MORAL CERITA:
Intinya
begini. Kalau tulisan bisa kita jadikan sebagai amalan jariah, mengapa
kita malah serampangan menjadikannya sebagai dosa jariah?
Membaca ulasan yang sangat reflektif "jarimu tiket surga" saya seperti diingatkan pada pepatah lama, mulutmu harimaumu. Dalam tulisan juga berlaku sama, sebagaimana diuraikan dengan sangat jelas di atas, terima kasih dan salam kenalmu, tulisan ini sangat reflektif buat saya secara pribadi, semoga ibu selalu sukses dan berkat melimpah.
BalasHapusNotes:
Benar bu live in di Kulon Progo Jogja ada saudara-saudari Muslim yang menjadi orang tua asuh anak-anak kami. Terima kasih telah berkunjung bu, salam
Syukurlah kalau tulisan saya bermanfaat. Aamiin. Semoga Anda dan kawan-kawan juga selalu sukses dan berlimpah berkah.Salam hangat dari Jogja.
HapusArtinya, kalau nulis yang bermanfaat gitu ya, bukan menulis sesuatu yang sia-sia apalagi nyampah. Sip sip!
BalasHapusYoi, Mbak. Selain bermanfaat juga sebisa mungkin (bahkan mestinya dibisa-bisakan) tidak menyinggung perasaan orang/pihak lain.
HapusBetul,sekali, Mbak..jdi tertampar jangan sampai terjadi
BalasHapusDuuh, maafkeun saiaaa yg telah menampar hahaha... Yoi, Mbak. Semoga kita selalu mampu menulis yg bermanfaat saja.
Hapussekarang jaman digital, apapun yang kita tulis, terutama medsos, ada rekamjejaknya. memang harus berhati hati.
BalasHapussiip deh.
Naah, itu. Jejak postingan kita akan mengabadi. Maka hati-hati adalah harga mati.
Hapus👍👍👍
BalasHapusTengkiyuu
Hapusbetul juga ya. tulisan itu akan ada terus andaikan menulis hal yang salah maka jadi dosa jariah kalo manfaat jadi amal juga ya. terima kasih sudah di ingatkan
BalasHapusSama-sama, Mas. Aku menulis ini pun dalam rangka (sekali lagi) menabok diri sendiri.
Hapusbetul sekali. terimakasih sudah mengingatkan :)
BalasHapusSama-sama, Mbak. Terima Kasih atas apresiasinya
HapusSetuju aku mbakkk mari membagikan sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain kan mbakkk, hidup kan memang gt apa yang ditanam itu yang dituai termasuk dalam urusan nulis hehehhehe
BalasHapusAsyeeek. Hukum tabur tuai bagaimanapun tetap ada.
HapusSaat sudah memasuki era digital yang apa-apanya bisa disampaikan tanpa harus bersuara, kata2 yang keluar dari kegiatan ngetik pun jadi penentu baik tidaknya seseorang. Jangan sampe hanya karena nggak kenal secara personal di dunia nyata, kita jadi orang yang menyampaikan pendapat tanpa filter di dunia maya.
BalasHapusThanks mbak untuk remindernya :)
Oke, sama-sama
Hapusyesss, mulutmu harimaumu, jarimu harimaumu. Jaman sekarang jaman dimana orang dengan mudah mengeluarkan pendapat, tinggal ketik, sent, jadilah! Filter memang ada di diri sendiri, dan ini memang gak mudahhhh, nahan diri buat gak kasih bad/ negative comment. Thanks remindernya mbaaaa
BalasHapusBaik, sama-sama. Ini juga buat menepuk bahuku sendiri, Mbaak.
HapusPostingan agak lama ternyata. Aku menulis buat senang senang.
BalasHapusIya, ciiiin. Sengaja kutampilkan lagi sebab kurasa besar manfaatnya. BTW senang-senang pun tak jadi soal asalkan enggak bikin kisruh dunia.
HapusSaking hati-hatinya memainkan jari untuk menulis, jadinya socmedku miskin update :D . Belum tentu sehari nulis 1 status. Karena aku mikirnya enggak semua hal layak aku publikasikan.
BalasHapusHahahahaha .... nisa aja, Mbak Win. Tapi betul, kok. Memang tak semua hal layak kita wartakan untuk umum.
HapusAku setuju mba kalau jari itu menentukan banyak hal. Bahkan komen yang terlihat sepele pun kalau orangnya pas moodnya gak baik bisa menyakitkan.
BalasHapusIya. Apalagi bahasa tulis berbeda dengan bahasa lisan.
HapusYes, lebih hati-hati bila ingin menuliskan sesuatu di media sosial ya.
BalasHapusIya, betul. Bahkan tak hanya di medsos, tapi di mana pun.
HapusSetuju bangeeettt! Kadang kita suka lupa, bahwa jari juga bisa membawa kita ke surga dan neraka ya. Kebayang kalau kita share hal baik dan menahan jari utk maksiat (ngeshare hoax dan memprovokasi), insyaAlloh membawa ke surga.
BalasHapusDemikianlah yang sesungguhnya. Namun sedihnya, dewasa ini terlalu banyak orang yang lalai untuk mengendalikan jari di dunia maya.
HapusBener mbak, kita harus hati-hati dengan tulisan kita, dan bijak menggunakan internet. Di satu drama korea ada episode yang nyeritain tentang orang yang bunuh diri karena dihujat netizen, terus hantunya gentayangan dong dan balik neror/bunuh orang yang ngetik testimoni buruk tentang dirinya...
BalasHapusNah, betapa dahsyat akibat yang ditimbulkan oleh tulisan. BTW drakornya syereem amat.
Hapus