SETELAH sekian waktu berdomisili di seputaran titik nol Jogja, aku rindu suasana pedesaan. Maklumlah. Aku ini 'kan memang lahir sebagai wong ndeso, orang desa. Bagaimanapun ya tetap rindu pada suasana desa. Bete kalau melihat mal dan hotel melulu. Hehehe ....
Maka sebagai penawar rindu, kuputuskan untuk berkunjung ke rumah seorang kawan lama. Dia kupilih sebagai target kunjungan sebab berdomisili di pedesaan. Dan kebetulan, aku juga belum pernah mengunjunginya.
Tak kusangka. Ternyata desa tempat tinggal kawanku sungguh sesuatu. Tak sekadar tenang dan damai. Tak sekadar banyak pepohonan bin asri. Tapi juga dekat sekali dengan sungai. Dan, sungai itu berkontribusi secara ekonomi bagi warga setempat.
Begini ceritanya ....
Sungai yang membentang di sepanjang tepian desa itu kaya akan pasir. Maka warga setempat menambangnya. Menambangnya dengan mesin, lho. Tidak manual dengan cangkul belaka. Jadi prosesnya lebih cepat dan lebih ringan, hasilnya pun lebih banyak.
Para penambang pasir tak perlu repot-repot mengangkut pasir ke tempat pembeli. Justru sebaliknya. Para pembelilah yang mendatangi mereka. Langsung ke bibir sungai. Dengan truk.
Yoiii. Cara menambangnya memang praktis. Pasir disedot dari sungai dengan mesin, lalu dialirkan dengan slang besaaar ke bak truk. Setelah muatan penuh, truk pun kembali naik ke jalan. Tentu dilanjut dengan acara bayar-membayar, setelah segala urusan kelar.
Dua truk sedang antre untuk mengisi pasir |
Sebuah truk sedang mengisi pasir di bibir sungai |
Konon harga satu unit mesin penambang pasir itu sekitar 30 jutaan. Supaya ringan, para penambang membelinya secara berkelompok. Tiap kelompok biasanya terdiri atas 5-6 orang. Jadi, masing-masing anggota kelompok cukup iuran 5 atau 6 juta. Apakah terdengar masih lumayan mahal? Hmm. Bisa jadi begitu. Tapi mengingat balik modalnya cepat, jatuh-jatuhnya ya tidak mahal.
Mari berhitung. Bila dalam sehari seorang penambang membawa pulang sejuta rupiah, berarti dalam seminggu sudah balik modal. Iya 'kan? Dan, sejuta sehari bukanlah mitos. Faktanya ya memang bisa didapatkan. Itu sudah keuntungan bersih, lho. Tidak lagi dipotong sana-sini. Sebab uang keamanan-kebersihan atau apalah istilahnya, sudah langsung dibayar oleh si pembeli pasir.
Pendek kata, penambangan pasir di desa kawanku membahagiakan semua orang. Baik para penambang pasir beserta keluarganya maupun warga desa pada umumnya. Warga yang tidak ikut menambang pasir pun kecipratan rezeki dari situ, lho. Jangan lupa. Selain membayar pasir, truk-truk pengangkut pun mesti membayar beberapa iuran. Nah, iuran tersebut dikelola kampung. Dikumpulkan hingga setahun, lalu dibagi-bagi kepada seluruh warga.
Sebenarnya aku ikut berbahagia mengetahui kisah bahagia terkait penambangan pasir tersebut. Tapi kurasakan ada pertanyaan yang mengganjal di benak, setelah kawanku berujar, "Beberapa waktu lalu kami digrebek petugas kepolisian. Padahal, kami sudah mengurus izin ke dinas terkait. Masak dibilang kalau kami penambang liar? Lagi pula, ini 'kan desa kami sendiri? Selain itu, pada tanggal tertentu ada oknum yang meminta paksa uang keamanan. Cenderung memeras, gitu."
Wah, wah, wah. Rasanya ada yang tidak beres, deh. Dan menurutku, siapa pun itu yang melakukan ketidakberesan, yang jelas para penambang pasir telah dikerjain. Ah, entahlah.
*Sengaja nama desanya kurahasiakan demi kemaslahatan bersama*
Ah aku kok jadi ..., penasaran ya dilokasi pemandangan penambangan pasir ini hehehe.
BalasHapusMasalahnya dulu waktu aku kecil pernah lihat aktivitas para penambamg pasir di Kali Krasak.
Suka aja ngelihatnya, kok kesannya perlu ekstra kekuatan karena saat itu pakai cara manual.
Hahahaha ..... sengaja kurahasiakan, Mas, demi keamanan....sebab tempat tersebut sudah pernah masuk berita.Yang jelas ada di wilayah DIY. Kalau Kali Krasak sudah masuk Jareng 'kan? BTW menambang secara manual memang lebih melelahkan. Hasilnya pun kukira lebih sedikit daripada kalau memakai mesin.
HapusTes lagi
BalasHapus