SIANG tadi akhirnya aku menyambangi Jogja Halal Food Expo 2019. Terpaksa sendirian sebab kemarin sore, kawan-kawanku sudah ke situ. Apa boleh buat? Aku ketinggalan rombongan. Maka mau tak mau, hari ini aku terpaksa pergi sendiri.
Pintu masuk ke pameran |
Sebegitu pentingkah acara yang berlangsung dari 20-24 Februari 2019 itu? Oh, pasti. Pasti sangat penting bagiku. Bagi kalian juga. Bagi siapa saja. Terkhusus bagi yang muslim. Jogja Halal Food Expo gitu, lho. Pasti terkait erat dengan makanan-makanan halal. Yang tentunya sangat dekat dengan hidup keseharian kita.
Dan kuduga, di acara tersebut aku bakalan memperoleh aneka informasi seputar makanan halal. Tentu sekalian membeli makanan-makanan halal yang dijual di situ. Nah, lho. Berarti berfaedah sekali 'kan? Jadi, aku bertekad kuat untuk mengunjunginya.
Talk Show Sertifikasi Halal
Singkat cerita aku tiba di JEC, Jogja Expo Center, kurang lebih pukul 13.30 WIB. Dengan sedikit digelayuti kehampaan sebab tiada berkawan, aku melihat-lihat stan peserta pameran. Belum juga menemukan stan yang menarik minat, pandangan mataku sudah terbentur sesuatu. Yakni kesibukan sekelompok orang di panggung. Kelihatannya mereka sedang menata meja kursi untuk sebuah acara.
Daripada kepo tiada ujung, aku kemudian bertanya kepada seseorang, "Mau ada acara ya, Bu?"
Ibu yang kutanya menjawab, "Iya. Jam dua ini. Sebentar lagi. Talk show tentang sertifikasi halal."
"Bayar? Daftarnya di mana?"
Ibu itu menjawab, "Gratis. Langsung ikut saja."
Demi mendengar jawaban itu, aku mengurungkan niat untuk berkeliling stan. Kutunda dulu keliling-kelilingnya. Rencanaku setelah talk show usai, baru lanjut.
Berswafoto sebelum acara dimulai |
Para narasumber beraksi |
Beruntunglah aku bisa hadir di acara tersebut. Bahkan, untungnya banyak. Betapa tidak? Aku menjadi tahu tentang arti dan tatacara mendapatkan sertifikat halal bagi sebuah produk. Dan sedihnya, menjadi tahu pula bahwa baru sedikit pelaku usaha yang punya sertifikat halal untuk produknya. Konon dari sekian ratus ribu UKM kelompok makanan, baru sedikit yang punya sertifikat halal. Huft! Memprihatinkan sekali.
Padahal, mayoritas konsumen Indonesia adalah muslim. Para pelaku usahanya sendiri juga mayoritas muslim. Sosialisasi pada mereka pun telah sering dilakukan. Tapi apa boleh buat? Konsumen Indonesia rata-rata kurang peduli dengan status kehalalan produk yang dikonsumsi. Jadinya ya para pelaku usaha kurang antusias untuk melakukan sertifikasi produk mereka.
Meskipun pemerintah telah berdaya upaya agar para pelaku usaha mengurus sertifikasi halal, konsumen yang kurang peduli lebih berpengaruh. Padahal, ada banyak manfaat dari sertifikasi halal. Di antaranya (1) menambah nilai jual produk, (2) memperluas pasar hingga mancanegara, (3) memperbesar omzet penjualan.
Sekali lagi, apa boleh buat? Para pelaku usaha mesti disadarkan tentang esensi halal. Dengan demikian, mereka dapat bersegera melakukan sertifikasi halal atas produk mereka. Imbauan ini termasuk ditujukan kepada kalian, ya. Siapa tahu kalian pelaku usaha yang juga belum melakukan sertifikasi halal?
Demikian oleh-oleh ilmu yang kudapat dari Jogja Halal Food Expo 2019. Yang narasumbernya dari Dinas Koperasi UKM DI Yogyakarta (yang kantornya sekompleks dengan markas PLUT-KUMKM DI Yogyakarta), MUI DIY, dan Fania Food. Adapun oleh-oleh yang kubawa pulang adalah tahu bakso dan Bakpia Obong.
Meskipun pemerintah telah berdaya upaya agar para pelaku usaha mengurus sertifikasi halal, konsumen yang kurang peduli lebih berpengaruh. Padahal, ada banyak manfaat dari sertifikasi halal. Di antaranya (1) menambah nilai jual produk, (2) memperluas pasar hingga mancanegara, (3) memperbesar omzet penjualan.
Sekali lagi, apa boleh buat? Para pelaku usaha mesti disadarkan tentang esensi halal. Dengan demikian, mereka dapat bersegera melakukan sertifikasi halal atas produk mereka. Imbauan ini termasuk ditujukan kepada kalian, ya. Siapa tahu kalian pelaku usaha yang juga belum melakukan sertifikasi halal?
Demikian oleh-oleh ilmu yang kudapat dari Jogja Halal Food Expo 2019. Yang narasumbernya dari Dinas Koperasi UKM DI Yogyakarta (yang kantornya sekompleks dengan markas PLUT-KUMKM DI Yogyakarta), MUI DIY, dan Fania Food. Adapun oleh-oleh yang kubawa pulang adalah tahu bakso dan Bakpia Obong.
Penampakan sebagian stan peserta |
Tahu bakso yang kubeli |
Bakpia Obong yang kubeli |
Wah..jadi meluncur sendiri...siip pemberani...hihi...
BalasHapusSertifikasi halal itu penting, agar konsumen tidak was2 dengan produk makanan yang dikonsumsinya.
Ketemu Arinta sidane
HapusAjaklah diriku ini, biat lebih tahu atau lebih bisa mengenal jogja
HapusMasak belum kenal siihhh... Hahaha...
HapusAku kesana pagi mbak, soalnya kalau sore takut stress macet di jalan. Kemarin tu mau beli bakpia obong tapi malah kemana-mana terus lupa :(
BalasHapusIya, selain macet, hujan deras juga tiap sore. BTW sayang banget lupa beli Bakpia Obong. Hehehe .... Emang acap kali gitu, sih. Niatnya muter dulu, ntar baru beli, eh, malah lupa..
HapusSaya juga mau beli ,tapi lupa bawa dompet :)
HapusDuileeee, yg lupa kan cuma dompetnya. Isinya tetep dibawa di saku kaaan
HapusKalau dipikir-pikir manfaatnya banyak ya, tapi mungkin pelaku ukm ada yang enggan yang konon katanya begitu ribet dan belum lagi administrasi yang mencengkik.
BalasHapusJogja Expo Center, tempatnya bekas terminal umbulharjo itu kah?
Sebetulnya tidak ribet kalau sudah paham dulu langkah-langkahnya. Soal biaya yg mencekik, sebenarnya kalau paham esensi sertifikasi halal pun jadinya tidak bilang mahal
HapusJEC berlokasi di jln gedung kuning, bukan di bekas terminal
HapusPenting banget punya sertifikasi halal. Bukan sekedar tulisan "halal". Semoga semakin banyak pelaku usaha dibidang makanan semakin sadar untuk mengurus sertifikasi halal.
BalasHapusBetul, Mbak. Tapi sepertinya mesti di push juga oleh konsumen
HapusKadang para UKM itu malas mengurusnya, ada juga belum tahu prosedurnya. Memang perlu ditingkatkan sosialisai masalah sertifikasi halal bagi pelaku usaha.
BalasHapusKelihatannya Bakpia Obongnya enk ya...:)
Iya, betul. Mentalitas malas mengurus dg alasan ribet dan mahal ongkosnya masih jadi kendala. Padahal kalau sudah paham esensi halal, belajar tatacara mengurus sertifikasi halal, pasti enggak kerasa ribet. Bahkan sebenarnya, sempat ada bantuan dana juga dari pemerintah lhoo.
HapusBTW bakpia obongnya memang enak, tapi mirip cake rasanya, bkn mirip bakpia pada umumnya. Hehehe ....
Wahhh supaya aman dan tidak adanya plagiasi ya mb
BalasHapusYoiii, Mas. Sebetulnya begitu. Apalagi aturan halal itu sesungguhnya untuk seluruh umat manusia. Tak hanya untuk kaum muslimin.
HapusSepertinya memang harus dilakukan ya mbak, karena terkadang saat ini saat saya jadi sering ngecek kemasan pada setiap produk makanan yang saya beli, apakah sudah ada label halalnya atau belum, tapi kalau krupuk mah langsung kunyah aja yak...apalagi gudeg, langsung nambah setengah porsi lagi hahaaa..
BalasHapusBukan sepertinya, melainkan harus. Hehehe .... Sebagai konsumen, kita memang acap kali lalai menanyakan perihal sertifikasi halal sih ya. Apalagi untuk makanan nonkemasan. Aku pun masih sering seperti panjenengan. Beli bakso enggak begitu cermat mikirin status kehalalan. Duuh...
HapusKalau menurut saya, alasan mengapa banyak pengusaha UMKM malas daftarin kehalalan produknya, karena udah parno duluan dengan prosedurnya yang berbelit2 dan ngabisin waktu banget.
BalasHapusSebagai konsumen, saya hanya berpatokan dengan penjualnya muslim, padahal bisa saja orangnya curang gitu ya.
Iya, betul. Udah parno duluan dan mikir bayarnya mahal.
HapusSertifikasi halal itu penting agar konsumen tidak was-was saat ingin mencoba produk kita.
BalasHapusNamun, sampai saat ini banyak pelaku usaha kecil tidak mau mendaftarkan kehalalan produknya. Hal ini dikarenakan prosedurnya dianggap tidak mudah dan berat sekali. Sebenarnya bukan berat, tapi memang tidak seperti para pelaku usaha kecil bayangkan saja dan mereka tidak mau repot-repot mengurus sana sini yang membutuhkan langkah demi langkah.
Hal ini juga dipengaruhi bahwa para pelaku usaha kecil ini hanya orang-orang yang mendapatkan pendidikan standar, jadi mereka membutuhkan bantuan yang menguruskan.
Beruntung pelaku usaha di desa, biasanya dibantu oleh mahasiswa KKN / magang, tapi bagaimana jika tidak ada bantuan dari mahasiswa? Ya, akhirnya malas.
Semoga ada yang mau membantu pelaku usaha dari desa juga.
Ya, betul banget. Para pelaku amat butuh pendampingan. Tak sekadar untuk hal-hal teknis, tapi juga untuk mengubah mindset mereka agar lebih visioner.
Hapus