Seorang anak Indonesia di tengah pameran seni karya kawan-kawannya |
HARI ini, tanggal 23 Juli 2019, untuk ke-35 kalinya diselenggarakan peringatan Hari Anak Nasional (HAN). Dan, tahukah kalian bahwa tanggal tersebut merupakan hari ulang tahun salah satu putra Presiden Soeharto? Yup! HAN memang dicanangkan pada tahun 1984, ketika beliau berkuasa. Entah disengaja entah kebetulan. Namun kukira, hal ini tak urgen untuk didiskusikan. Yang lebih urgen untuk dibahas adalah nasib anak Indonesia.
Ada apa dengan nasib anak Indonesia? Hmm. Bagaimana, ya? Meskipun berita yang kubaca mewartakan bahwa anak-anak Indonesia merupakan anak-anak yang berbahagia, menurutku masih banyak juga yang tak bahagia. Cobalah ingat-ingat. Dalam kurun waktu setahun ini saja, ada berapa berita yang mewartakan perihal kejahatan terhadap anak? Mulai dari bayi yang dibuang, anak yang dianiaya orang tuanya sendiri, hingga anak yang dilibatkan dalam bom bunuh diri.
Tolong jangan salah paham. Makna bahagia di sini tak berkorelasi dengan jumlah kekayaan orang tua mereka lho, ya. Kecukupan materi memang memudahkan dan menyenangkan hidup mereka, tetapi tak serta-merta membahagiakan. Sebaliknya, dalam kondisi kekurangan materi pun seorang anak tetap bisa bergembira ria.
Buktinya tak usah jauh-jauh. Aku contohkan diriku sendiri sajalah. Dahulu waktu kecil, aku merasa sangat ngenes karena ibu melarangku bermain keluar rumah. Padahal, ibuku yang hobi masak selalu menyediakan aneka kudapan yang lezat untukku. Tampaknya ini perkara sepele 'kan? Namun, ketahuilah. Akibatnya kutanggung sampai sekarang, lho. Aku jadi tak punya kisah kenangan kenakalan masa kecil bersama kawan-kawan sekampung. Di antara mereka, hanya aku yang tak pernah seru-seruan nyemplung sungai. Yeah .... *malahcurhat*
Bukti lainnya terdapat pada murid privat bapakku. Begitulah takdir bergulir. Sebagai pensiunan guru yang hobi membaca, tapi bujet pas-pasan untuk membeli banyak buku, bapakku menjadi peminjam buku setia pada seorang pejabat di kabupaten tempat kami berdomisili. Iya. Tentu saja si pejabat tersebut kaya raya. Semua anaknya disekolahkan di sekolah favorit dan elite.
Akan tetapi, anak bungsunya yang baru beberapa minggu masuk SMPN favorit ternyata mogok sekolah. Dibujuk dengan cara bagaimanapun tetap tak berminat kembali sekolah. Di tengah rasa putus asanya, si pejabat teringat bapakku. Maka ujungnya, tiap pagi si bocah diantar sopirnya ke rumahku yang ada di desa (dia tinggal di ibukota kabupaten). Tujuannya satu: untuk belajar pada bapakku.
Alhasil, kondisi rumahku dan suasana pedesaan betul-betul membuatnya belajar sesuatu. Yakni cara hidup dan lingkungan yang sungguh berlainan daripada yang biasa ia lihat (jalani). Dan sesungguhnya, yang dilakukan bapakku tak sekadar mengajar berdasarkan kurikulum sekolah. Sekitar 80 % yang dilakukan justru mengajaknya mengobrol. Dari obrolan itulah bapakku tahu kalau si bocah ternyata punya cita-cita untuk menjadi ahli ekonomi. Luar biasa 'kan?
Fix! Poin cita-cita itulah yang bikin bapakku optimis bakalan bisa membuat si bocah kembali bersekolah. Masih punya cita-cita berarti masih mau belajar.
Lalu saat ditanya alasannya mogok sekolah, jawabannya adalah bosan. Bukan bosan belajar, melainkan bosan cara menjalani hidup kesehariannya. Ya Allah, hidup memang wang sinawang. Sementara aku bosan dengan kondisi rumah yang sederhana dan ingin tinggal di kota, dia malah sebaliknya. Haha! Yeah, setidaknya hal itu menjadi bukti bahwa kekayaan orang tua tak menjamin kebahagiaan anaknya.
O, ya. Alhamdulillah pada akhirnya si murid privat bapakku mau kembali bersekolah. Meskipun kelulusan SMP-nya menjadi lebih lambat satu tahun daripada kawan-kawan seangkatannya, tak jadi soal. Yang penting mau kembali bersekolah demi mencapai cita-cita menjadi ahli ekonomi. Itu pun dari sekian sekolah yang ditawarkan, si bocah hanya mau bersekolah di SMP Terbuka. Ya sudah. Orang tuanya mesti mau membuang gengsi. Harus rela melihat anaknya bersekolah dengan anak-anak yang berasal dari kasta rakyat jelata. Demi kebahagiaan si bocah.
Kata bapakku, si bocah menjadi satu-satunya murid yang bersepatu. Maklumlah. SMP Terbuka tempatnya bersekolah memang berlokasi di desa yang lebih pelosok daripada desaku. Namun, si bocah bahagia belajar di situ. Alhamdulillah. Dia beruntung orang tuanya rela membuang gengsi demi kebahagiaannya. Tak jarang lho, ada orang tua dengan kondisi serupa dan tetap egois. Tanpa memikirkan perasaan si bocah, tetap memasukkannya di sekolah yang dianggap sesuai dengan gengsi keluarga.
Astagaaa. Kisah dari dua anak Indonesia saja sudah panjang begini. Apalagi kisah seluruh anak Indonesia. Baiklah, baiklah. Agar kalian tak bosan, kusudahi saja tulisan ini. Namun, jangan lupa. Mari gembirakan hati anak-anak Indonesia di sekitar kalian.
MORAL CERITA:
Kegembiraan anak adalah kunci. Bila anak gembira, bakalan mudah diajak belajar apa saja.
Ada apa dengan nasib anak Indonesia? Hmm. Bagaimana, ya? Meskipun berita yang kubaca mewartakan bahwa anak-anak Indonesia merupakan anak-anak yang berbahagia, menurutku masih banyak juga yang tak bahagia. Cobalah ingat-ingat. Dalam kurun waktu setahun ini saja, ada berapa berita yang mewartakan perihal kejahatan terhadap anak? Mulai dari bayi yang dibuang, anak yang dianiaya orang tuanya sendiri, hingga anak yang dilibatkan dalam bom bunuh diri.
Tolong jangan salah paham. Makna bahagia di sini tak berkorelasi dengan jumlah kekayaan orang tua mereka lho, ya. Kecukupan materi memang memudahkan dan menyenangkan hidup mereka, tetapi tak serta-merta membahagiakan. Sebaliknya, dalam kondisi kekurangan materi pun seorang anak tetap bisa bergembira ria.
Buktinya tak usah jauh-jauh. Aku contohkan diriku sendiri sajalah. Dahulu waktu kecil, aku merasa sangat ngenes karena ibu melarangku bermain keluar rumah. Padahal, ibuku yang hobi masak selalu menyediakan aneka kudapan yang lezat untukku. Tampaknya ini perkara sepele 'kan? Namun, ketahuilah. Akibatnya kutanggung sampai sekarang, lho. Aku jadi tak punya kisah kenangan kenakalan masa kecil bersama kawan-kawan sekampung. Di antara mereka, hanya aku yang tak pernah seru-seruan nyemplung sungai. Yeah .... *malahcurhat*
Bukti lainnya terdapat pada murid privat bapakku. Begitulah takdir bergulir. Sebagai pensiunan guru yang hobi membaca, tapi bujet pas-pasan untuk membeli banyak buku, bapakku menjadi peminjam buku setia pada seorang pejabat di kabupaten tempat kami berdomisili. Iya. Tentu saja si pejabat tersebut kaya raya. Semua anaknya disekolahkan di sekolah favorit dan elite.
Akan tetapi, anak bungsunya yang baru beberapa minggu masuk SMPN favorit ternyata mogok sekolah. Dibujuk dengan cara bagaimanapun tetap tak berminat kembali sekolah. Di tengah rasa putus asanya, si pejabat teringat bapakku. Maka ujungnya, tiap pagi si bocah diantar sopirnya ke rumahku yang ada di desa (dia tinggal di ibukota kabupaten). Tujuannya satu: untuk belajar pada bapakku.
Alhasil, kondisi rumahku dan suasana pedesaan betul-betul membuatnya belajar sesuatu. Yakni cara hidup dan lingkungan yang sungguh berlainan daripada yang biasa ia lihat (jalani). Dan sesungguhnya, yang dilakukan bapakku tak sekadar mengajar berdasarkan kurikulum sekolah. Sekitar 80 % yang dilakukan justru mengajaknya mengobrol. Dari obrolan itulah bapakku tahu kalau si bocah ternyata punya cita-cita untuk menjadi ahli ekonomi. Luar biasa 'kan?
Fix! Poin cita-cita itulah yang bikin bapakku optimis bakalan bisa membuat si bocah kembali bersekolah. Masih punya cita-cita berarti masih mau belajar.
Lalu saat ditanya alasannya mogok sekolah, jawabannya adalah bosan. Bukan bosan belajar, melainkan bosan cara menjalani hidup kesehariannya. Ya Allah, hidup memang wang sinawang. Sementara aku bosan dengan kondisi rumah yang sederhana dan ingin tinggal di kota, dia malah sebaliknya. Haha! Yeah, setidaknya hal itu menjadi bukti bahwa kekayaan orang tua tak menjamin kebahagiaan anaknya.
O, ya. Alhamdulillah pada akhirnya si murid privat bapakku mau kembali bersekolah. Meskipun kelulusan SMP-nya menjadi lebih lambat satu tahun daripada kawan-kawan seangkatannya, tak jadi soal. Yang penting mau kembali bersekolah demi mencapai cita-cita menjadi ahli ekonomi. Itu pun dari sekian sekolah yang ditawarkan, si bocah hanya mau bersekolah di SMP Terbuka. Ya sudah. Orang tuanya mesti mau membuang gengsi. Harus rela melihat anaknya bersekolah dengan anak-anak yang berasal dari kasta rakyat jelata. Demi kebahagiaan si bocah.
Kata bapakku, si bocah menjadi satu-satunya murid yang bersepatu. Maklumlah. SMP Terbuka tempatnya bersekolah memang berlokasi di desa yang lebih pelosok daripada desaku. Namun, si bocah bahagia belajar di situ. Alhamdulillah. Dia beruntung orang tuanya rela membuang gengsi demi kebahagiaannya. Tak jarang lho, ada orang tua dengan kondisi serupa dan tetap egois. Tanpa memikirkan perasaan si bocah, tetap memasukkannya di sekolah yang dianggap sesuai dengan gengsi keluarga.
Astagaaa. Kisah dari dua anak Indonesia saja sudah panjang begini. Apalagi kisah seluruh anak Indonesia. Baiklah, baiklah. Agar kalian tak bosan, kusudahi saja tulisan ini. Namun, jangan lupa. Mari gembirakan hati anak-anak Indonesia di sekitar kalian.
MORAL CERITA:
Kegembiraan anak adalah kunci. Bila anak gembira, bakalan mudah diajak belajar apa saja.
Masa anak-anak memang seru kak, tapi terkadang orang tua membatasi untuk kita bermain padahal sangat seru dan kenangannya tidak akan terlupakan, tapi karena kekhawatiran dari orang tua sebenarnya bukan kok kita dilarang dan tentunya orang tua punya alasan tertentu
BalasHapusBetul Dek, dari pihak ortu sebetulnya enggak bermaksud bikin kota kezel. Hehehe...
HapusDuh kalo soal anak, rasanya gak pernah bisa lulus soal ngasuh. Ada aja keunikan mereka yang mengundang tawa dan juga emosi.
BalasHapusSmg kita semua bisa menjadi bagian orang tua yang bisa membuat anak2 bahagia menikmati masa kecilnya dan sukses di masa depannya
Aamiin. Semoga... Hmm aku pun rasanya kerap bikin anakku tak bahagia 😀😊
HapusAku belum nikah, ya belum punya anak juga. Jadi kepikiran, nanti kalo udah punya anak bakalan baik gak yah ngurus anak. Mulai mikir ke situ sih. Tapi ya masih panjang juga perjalanan aku ke depan. Liat orang tuaku, apa aku akan sebaik mereka nanti dalam mengasuh anakku. Aku kurang bisa tuh soal bujuk2 gitu. Bujuk ponakan aja gagal total malah nangis hahah. Payah bener deh.
BalasHapusJaman dulu sekolah gak pake sepatu toh mbak. Cuma anak-anak orang kaya aja yah. Tapi bapaknya hebat ya mbak, pelan-pelan tapi pasti. Bisa bujuk anak itu mau kembali bersekolah walau di sekolah yg bukan jadi pilihan orang tuanya.
Tetap semangaaat. InsyaAllah nanti pasti bisa jadi ortu yang baik.
HapusOiya. Sebetulnya sih enggak zaman dulu banget. Berhubung lokasi SMP Terbuka di desa pelosok yang tingkat perekonomian masyarakatnya rendah, yaa sepatu masih jadi barang langka.
Terima kasih ya, atas apresiasimu untuk tulisan ini.
Cita-citaku sebelum menikah adalah ingin masuk kelas parenting. Buat nanti gak sotoy kalau udah jadi emak emak.
BalasHapusAuwoooww sebuah cita-cita yang sungguh muliaa, Ciiinnnt..
HapusPenasaran bosan dg keseharian nya yang kayak apa ya anak kota tadi? Biar jadi koreksiku dan suami. Hiks kadang anakku juga bosan di rumah. Hoho
BalasHapusDia mungkin merasakan hidupnya monoton dan kurang dinamis sebab adanya kemudahan melulu.
HapusWah, kok anak itu malah lebih suka belajar di tempat yang lebih terpelosok 🤔. Ahh, yang penting bahagia ya :)
BalasHapusMungkin dia bosan dengan hidupnya yang monoton dalam gelimang kemudahan.
HapusYea, kalau anak sudah seneng,pasti lebih lancar belajarnya. Semangat pokoknya
BalasHapusYep, yup. Kebahagiaan, kegembiraan, adalah koentji.
Hapus"Kegembiraan anak adalah kunci. Bila anak gembira, bakalan mudah diajak belajar apa saja."
BalasHapusSetuju mbaak, trus pernah mbaca kebahagiaan anak bisa tercapai kalau orang tuanya bahagia. Semoga semua orang tua dan anak Indonesia bahagia terus..
Terima kasih sudah share ceritanya mbak <3
Aamiin. Semoga kita semua senantiasa menjadi manusia yang berbahagia.
HapusYep, sama-sama.
bahagiaaa itu bukan karena kaya harta
BalasHapusbahagia ituuuu karena kaya jiwaaa, kaya rasa, kaya karyaaaa
semoga anak-anak Indonesia sekarang dan nanti makin banyak yang menjadi dan merasa KAYA pikirannya, toleransinya, kebaikannya dan kehebatannya!
Aamiin, Mbak. Makasihh
HapusNgomong-ngomong soal anak sekolah nih mb, kemarin ada anak kelas 1 di sekolahku yang baru masuk SMA 2 minggu dan minta pindah sekolah. Alasannya karena pengen 1 sekolah sama pacarnya. Gimana dong tuh
BalasHapusYa ampuuuun.... Hahaha.... Sebuah Alaskan yang naif. Kok bisa ya? Apakah ortunya mengabulkan permintaan konyol itu?
HapusAhhh... Bener banget. Kebahagiaan di mata orang tua, belum itu pula yang diinginkan seorang anak. Huhuhu.. jadi teringat anakku yang gede :(
BalasHapusDemikianlah, Mbak. Duuuh. Maafkan kalau tulisan ini membuatmu bapeeer. Hehehe ....
HapusBetul mbak.. Bahagia itu adalah utama. Dengan bahagia, anak dapat mengeluarkan sekuruh potensinya. Dan bahagia memang ty idak melulu soal harta..
BalasHapusYoi mbaak
BalasHapus