SELAMA dua tahun ini saya ditakdirkan berdomisili di Kauman, Ngupasan, Yogyakarta. Yakni sebuah kampung tua di tengah kota, yang identik dengan ormas Muhammadiyah. Faktanya, hingga kini di Kauman memang terserak jejak-jejak kelahiran dan perjuangan Muhammadiyah.
Ada Langgar Kidul yang dahulunya merupakan markas dakwah Kiai Haji Ahmad Dahlan. Ada bangunan sekolah berasrama yang didirikan Kiai Haji Ahmad Dahlan untuk menggembleng para kadernya (kini menjadi TK ABA Kauman). Ada Mushala Aisiyah yang merupakan mushala khusus untuk perempuan (dahulunya merupakan tempat Nyai Ahmad Dahlan mendidik kaum muslimah). Ada pula makam Nyai Ahmad Dahlan (berlokasi tepat di belakang Masjid Gedhe Kauman).
Para tokoh dan ketum Muhammadiyah pun banyak yang berasal dari Kauman. Atau setidaknya, pernah tinggal di Kauman meskipun bukan warga asli situ. Alhasil tiap hari, banyak wisatawan dari kalangan internal Muhammadiyah (ataupun kalangan umum yang berminat) datang berkunjung.
Tak bisa dipungkiri, bagi siapa pun yang intensif belajar tentang sejarah Muhammadiyah, Kauman adalah referensi yang tak boleh dilewatkan. Terlebih sampai saat ini denyut perjuangan Muhammadiyah di situ masih cukup kencang. Langgar Kidul dan Mushola Aisiyah masih aktif dipergunakan. Demikian pula bangunan yang kini menjadi TK ABA.
Sementara dalam konteks sejarah yang berbeda, eksistensi Kauman terkait dengan perjalanan Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Perlu diketahui bahwa dahulunya, Kauman merupakan tempat tinggal para abdi dalem yang ditugasi untuk mengelola Masjid Gedhe Kauman. Dengan demikian, Kauman memang sudah ada sejak masjid tersebut berdiri. Yakni sejak masa Sultan Hamengkubuwana I berkuasa.
Sungguh. Mengulik masa silam Kauman adalah hal menarik. Tak kalah menarik dari jajaran rumah-rumah kunonya yang instagramable. Ya. Kalau sabar dan cermat mengelilingi seantero Kauman, Anda bakalan menemukan bangunan-bangunan klasik. Yang menurut estimasi saya, kurang lebih 80 % masih berupa bangunan asli.
Adapun yang 20 % bermacam-macam perubahannya. Ada yang hanya berubah lantainya (semula tegel corak kuno, sekarang diganti dengan lantai marmer modern). Ada yang bentuknya diganti lebih kekinian. Ada pula yang dirobohkan atau dibiarkan terabaikan.
Namun, sudahlah. Mari kita fokus pada yang 80 % saja. Apa boleh buat? Tak perlu berpanjang-panjang untuk menyesalinya. Semua telah terjadi. Kini saatnya untuk fokus pada yang 80 % saja. Bagaimana caranya supaya bangunan-bangunan kuno yang masih utuh tidak menyusul dirobohkan?
Yeah! Sejujurnya ada rasa pedih di hati, tatkala memandangi rumah-rumah megah--pada zamannya--yang terbengkelai. Saya sungguh khawatir kalau di kemudian hari dihancurkan juga. Terlebih jika semata-mata demi renovasi ala bangunan kekinian. Kekhawatiran tersebut saya rasakan, salah satunya terhadap rumah bergaya Indis milik seorang juragan batik (pada masanya). Yang dulunya merupakan tempat kos Bapak Amien Rais. Semasa beliau masih berstatus sebagai pelajar/mahasiswa.
Itulah sebabnya saya amat senang saat mendengar kabar bahwa warga setempat didukung pemkot Yogyakarta, beberapa waktu lalu berinisiatif mengajukan Kauman sebagai kawasan cagar budaya. O la la! Baru saya tahu bahwa ternyata, Kauman belum dinyatakan sebagai kawasan cagar budaya. Sementara dalam keseharian, saya kerap melihatnya dikunjungi banyak wisatawan. Baik wisatawan biasa maupun wisatawan dengan minat khusus (yang berminat mengulik dinamika kebersejarahan Kauman). Baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara.
Saya salah sangka rupanya. Tanda kelir hijau di TK ABA dan Langgar Kidul itu bukan penanda bahwa seantero Kauman merupakan kawasan cagar budaya. Lalu penanda apa, dong? Ya penanda untuk keduanya saja, bahwa kedua tempat tersebut tercatat sebagai heritage. Bukan untuk keseluruhan wilayah Kauman.
Kelir hijau di TK ABA Kauman |
Kelir hijau di Langgar Kidul |
Padahal kalau menurut UU no. 11 tahun 2010, Kauman layak ditahbiskan sebagai kawasan cagar budaya Indonesia. Iya. UU tersebut menyatakan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya
bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di
darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena
memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,
agama, dan atau kebudayaan melalui proses penetapan. Sementara Kauman jelas-jelas punya andil besar dalam sejarah, pendidikan, dan agama.
Mushala Aisiyah yang lantainya sudah kekinian |
Kearifan lokal yang berupa larangan untuk bersepeda motor di Kauman pun menjadi daya tarik tersendiri. Nyaris tidak ada 'kan kampung yang punya peraturan seperti itu? Pokoknya di Kauman hanya Pak Pos yang "halal" menyusuri jalanan kampung dengan bersepeda motor. Alhasil, jalanan dan udara di Kauman relatif bersih.
Rumah bergaya Indis milik juragan batik di Kauman |
Sisi lain dari rumah pada foto di atas |
Akan tetapi sayang sekali, tetap ada selintas cemas dalam hati ini. Andai kata pada akhirnya Kauman berstatus sebagai cagar budaya, bakalan mampukah masyarakatnya untuk berkontribusi positif? Apa boleh buat? Saya cemas sebab kerap melihat, betapa masih ada warga yang bandel dalam hal bersepeda motor di kampung. Berarti mereka melanggar kearifan lokal toh?
Selanjutnya, kecemasan saya terletak pada fakta besarnya jumlah pendatang semacam saya. Yang sedihnya, banyak di antara mereka yang tak paham betapa bernilainya Kauman. Idealnya, penduduk asli Kauman memang memberikan "briefing" kepada pendatang. Namun kenyataannya, banyak pula warga asli yang tidak memahami kampung mereka sendiri. Ini menjadi semacam dilema 'kan?
Setelah membaca peraturan tentang penetapan cagar budaya, saya berkesimpulan bahwa secara teoretisnya sudah bagus. Tinggal praktiknya yang mesti selalu dikontrol. Terutama yang paling wajib untuk dikontrol adalah sumbangsih masyarakat. Mereka bisa memberi kontribusi apa bagi pelestarian cagar budaya di sekitar mereka tersebut?
Apa sekadar ikut membantu pengelolaan retribusi dari wisatawan? Atau sekadar ikut memelihara kebersihannya? Pastinya tidak 'kan? Sebab kontribusi terpenting justru menjadi pewarta andalan bagi wisatawan yang berkunjung. Yakni pewarta tentang cagar budaya yang mereka warisi. Maka masyarakat mau tak mau mesti belajar sejarah cagar budaya yang bersangkutan. Tentu plus berusaha menyelaraskannya dengan situasi dewasa ini.
Namun tentu saja, instansi terkait mesti sadar bahwa kontribusi tersebut hanya mungkin ada jika masyarakat telah terlibat dan merasakan manfaat nyata. Maka langkah paling awal untuk menerbitkan gairah masyarakat dalam berkontribusi aktif adalah sosialisasi. Selanjutnya ya sosialisasi dan sosialisasi. Yakni sosialisasi tentang pentingnya menjaga cagar budaya. Niscaya dengan sosialisasi yang massif dan kontinu, mereka bisa lebih menerima.
Jadi sebelum berharap kontribusi dari masyarakat, instansi berwenang wajib memaksimalkan upaya sosialisasi terlebih dulu. Sampai masyarakat pemilik (calon) cagar budaya betul-betul paham arti menjadi pemilik sah sebuah cagar budaya. Sebagai contoh paling sederhana, kalau di Kauman, mereka bakalan patuh bin tertib untuk tidak seenaknya mengendarai sepeda motor di jalan kampung. Tampaknya ini hal sepele, tapi sebenarnya tidak sepele. Bukankah hal itu termasuk kearifan lokal yang unik? Jika melestarikan hal sesederhana ini saja tidak mampu, bagaimana mungkin akan sanggup untuk melestarikan cagar budaya yang komposisinya lebih rumit?
Selanjutnya, kecemasan saya terletak pada fakta besarnya jumlah pendatang semacam saya. Yang sedihnya, banyak di antara mereka yang tak paham betapa bernilainya Kauman. Idealnya, penduduk asli Kauman memang memberikan "briefing" kepada pendatang. Namun kenyataannya, banyak pula warga asli yang tidak memahami kampung mereka sendiri. Ini menjadi semacam dilema 'kan?
Setelah membaca peraturan tentang penetapan cagar budaya, saya berkesimpulan bahwa secara teoretisnya sudah bagus. Tinggal praktiknya yang mesti selalu dikontrol. Terutama yang paling wajib untuk dikontrol adalah sumbangsih masyarakat. Mereka bisa memberi kontribusi apa bagi pelestarian cagar budaya di sekitar mereka tersebut?
Apa sekadar ikut membantu pengelolaan retribusi dari wisatawan? Atau sekadar ikut memelihara kebersihannya? Pastinya tidak 'kan? Sebab kontribusi terpenting justru menjadi pewarta andalan bagi wisatawan yang berkunjung. Yakni pewarta tentang cagar budaya yang mereka warisi. Maka masyarakat mau tak mau mesti belajar sejarah cagar budaya yang bersangkutan. Tentu plus berusaha menyelaraskannya dengan situasi dewasa ini.
Namun tentu saja, instansi terkait mesti sadar bahwa kontribusi tersebut hanya mungkin ada jika masyarakat telah terlibat dan merasakan manfaat nyata. Maka langkah paling awal untuk menerbitkan gairah masyarakat dalam berkontribusi aktif adalah sosialisasi. Selanjutnya ya sosialisasi dan sosialisasi. Yakni sosialisasi tentang pentingnya menjaga cagar budaya. Niscaya dengan sosialisasi yang massif dan kontinu, mereka bisa lebih menerima.
Jadi sebelum berharap kontribusi dari masyarakat, instansi berwenang wajib memaksimalkan upaya sosialisasi terlebih dulu. Sampai masyarakat pemilik (calon) cagar budaya betul-betul paham arti menjadi pemilik sah sebuah cagar budaya. Sebagai contoh paling sederhana, kalau di Kauman, mereka bakalan patuh bin tertib untuk tidak seenaknya mengendarai sepeda motor di jalan kampung. Tampaknya ini hal sepele, tapi sebenarnya tidak sepele. Bukankah hal itu termasuk kearifan lokal yang unik? Jika melestarikan hal sesederhana ini saja tidak mampu, bagaimana mungkin akan sanggup untuk melestarikan cagar budaya yang komposisinya lebih rumit?
Sebuah rumah tua (di Kauman) yang sudah direnovasi |
Sebuah rumah tua di Kauman |
Demikian sedikit cerita dan pemikiran saya tentang pelestarian cagar budaya yang bisa dikontribusikan masyarakat. Bagaimana dengan Anda? Yuk, ikut urun cerita dan pemikiran melalui "Kompetisi Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah". Masih ada waktu untuk mengejar tenggat waktu, kok.
Referensi:
Darban, Ahmad Adaby. 2011. SEJARAH KAUMAN: Menguak Indentitas Kampung Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id
Kalo dengar Kauman yang terlintas sejarah or aktivitas Muhammadiyah. Mantap tuh klo jadi cagar budaya
BalasHapusBetul banget, Mas. Kauman adalah tempat lahir Muhammadiyah dan kemudian identik dengan nama besar Muhammadiyah.
HapusMb,klo di cet ulang gitu nggak apa2 kan ya.. soalnya biar kesannya bersih, boleh Ndak to gedung2 yang udah warnanya pudar di cet ulang
BalasHapusKalau sudah tercatat sebagai bangunan heritage, meskipun sekadar ngecat tetep harus minta izin dulu.
HapusKauman instagrammable. Noted. Ini kampung yang unik sih. Kalau di kota besar masih tersisa lingkungan bebas polusi sungguh luar biasa.
BalasHapusIya, Mbak. Istimewa.
Hapustadinya kukira Kauman juga sudah jadi kawasan cagar budaya sejak dulu, dan ternyata sejarah disana kental ya. aku jadi pengen keliling kauman buat belajar
BalasHapusYoi, ternyata beluuuum. Ayo barengan kitaa.
HapusNext kita jalan-jalan sampai sini ya mba
BalasHapusSampai blusukan itu ya?
HapusOh baru tahu kalau di Kauman memang gak boleh naik motor kecuali tukang pos.
BalasHapusKlo ada yang nyasar pasti diteriaki.
HapusKauman memang dari dulu erat dengan sejarah ya. Aku baru tahu ada beberapa cagar budaya di sana. Semoga ke depannya bisa lebih dilestarikan
BalasHapusYup, semogaaa.
HapusKauman. Aku selalu terngiang dengan pasar tiban selama 30 hari selama Ramadhan. Jalan sempit, tapi pembelinya sampe suk2an 😆😆
BalasHapusKarena sempit, jadinya sukSukan hihihi
HapusAku malah enggak tau Kauman tuh mana tadinya wkwkwk. Tapi asyik banget sih jalan-jalan ke tempat yang baru.
BalasHapusSekarang sudah tahu lan? Ayo aku antarkan keliling di situ.
HapusAkutuh sedih klo liat bangunan bersejarah atau cagar budaya terbengkalai begitu saja. Semoga tulisan ini membuatmelek kita semua untuk berkontribusi merawat dan melestarikan cagar budaya
BalasHapusIdeeem. Ya, semoga tidak bertambah musnah lah yaa.
HapusKauman banyak sekali pny cagar budaya di sepanjang lorong kawasan pemukiman penduduknya ya mba, semoga bisa terjaga ya..
BalasHapusAaminn, semoga senantiasa terjaga.
HapusKampung Kauman ini bener2 asyik banget buat dijelajahi. Aku seneng banget diajak temenku keliling2 pas malem gitu ke rumah2 yang ada di sana. Keliatan beberapa ada yang dibiarkan seperti dulu dan nggak direnovasi untuk nggak menghilangkan segi otentiknya. Baguuuuuuuuuuuus banget pokoknya <3
BalasHapusweih, kok malam-malam pas kelilingnya. Kurang jelas dong, aah. Hehehe ...
HapusSaya lama sekali berada di Kauman
BalasHapusJaman memang sudah berubah, dan pastinya masyarakat juga ingin mengikuti perkembangan jaman. apalagi menyangkut itu sepeda motor, hal yang sulit untuk ditertibkan. Karena sudah menjadi kebutuhan dan gaya hidup.
Cagar budaya, memerlukan biaya yang cukup tinggi, dari segi perawatan. Sedangkan pemerintah daerah belum mampu, kalau hanya mengandalkan masyarakat, pastinya juga tidak sanggup.
Waahh tahun berapa tinggal di Kauman, Mas?
HapusAlhamdulillah, saya senang bisa melihat daerah-daerah bersejarah di pulau Jawa..
BalasHapusApalagi kalau dengar kata "Muhammadiyah".. Karna saya salah satu kader Muhammadiyah juga, bergerak di kalangan pelajar.. Yang disebut IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah)
Wah, ayo agendakan berkunjungbke kampung kelahiran Muhammadiyah, Mas.
HapusKauman idealnya sudah menjadi jadi cagar budaya. Tapi, apa Pemda setempat punya syarat khusus untuk dimasukkan sebagai cagar budaya?
BalasHapusSepertinya ada, Pak.
HapusDuh, aku kudet Mbak. Masih banyak tempat di Kauman yang belum aku kunjungi 😂
BalasHapusHehehe... Tenang, bisa kuantar.
HapusWah? Bagus banget tempatnya Tante ? Btw, kalau tempat liburan yang Instagram Mabel habis buat berfotoan apa ya Tante? Mahu di rekomendasikan ke Doi soalnya .
BalasHapusHaloooo, ke Kotagede Jogja tuuh... Asyik buat pepotoan.
HapusMasalahnya memang ada dimana-mana yang seperti ini. Dinamika lintas budaya akibat semakin baiknya transportasi dan jalan membuat banyak kearifan lokal menjadi korban. Perpindahan manusia karena satu dan lain hal mendorong tergerusnya budaya lokal dengan budaya pendatang.
BalasHapusSebuah hal sulit untuk dipecahkan, terutama karena jumlah pengusung budaya lokal juga berkurang dan mayoritas generasi sekarang tidak peduli terhadap hal itu, belum lagi kebanyakan generasi baru tidak mau repot.
Jadilah, kesadaran terhadap kearifan lokal akan terus menurun.
Tantangan yang sedang dan akan terus dihadapi oleh budaya lokal di masa datang.
Yup, betul banget. Tapi sebisa mungkin mestinya dijaga agar pergerusannya tidak terlalu drastis dan cepat.
Hapus