"Kenapa kapitalis banget?!!" Demikian ucapan viral seorang wisatawan yang merasa dipecundangi saat beli pecel lele di Malioboro.
![]() |
Malioboro terkini sejak pandemi (Dokpri) |
MENURUT penuturannya, pecel lele yang dibelinya dihargai super mahal dan tidak dijual paketan. Dalam arti, tiap komponen dalam menu yang disebut pecel lele itu ada harganya masing-masing. Sepiring nasi dihargai Rp7.000,00, seekor lele goreng seharga Rp20.000, dan lalapannya Rp10.000,00.
Hmm. Nyebelin memang. Itu asliii nyebelin bin ngeselin. Kalau nasi dan lelenya terpisah masih dapat dimaklumi. Kalau lalapannya juga disendirikan begitu, gimana logikanya dong? Terlebih harganya menjadi sangat mahal untuk kategori menu pecel lele di warung biasa.
Iya, sih. Saya paham bahwa harga makanan di destinasi wisata kondang seperti Malioboro, pada umumnya di atas rata-rata. Akan tetapi, di atas rata-ratanya tetap masih masuk akal. Tidak seugal-ugalan itu.
Kalau seporsi pecel lele komplet dengan nasi, lalapan, dan sambal dihargai Rp10.000,00, mestinya di Malioboro cukup dihargai di kisaran Rp20.000,00-an.
Itu mauku, sih. Andai kata aku bukan orang Jogja, itulah yang kuinginkan saat berwisata ke Jogja. Kalau sampai seporsi pecel lele mencapai Rp37.000,00 dan belum termasuk minum, wah ....
Itu harga yang mencekik, Jenderal! Auto jera ke Malioboro, deh. Jangankan wisatawan dengan kocek secekak kocekku. Lhah si Mbak wisatawan yang cantik dan keren itu saja protes, kok.
Aku yakin, ia protes bukan sebab enggak punya duit banyak. Yang ia protes pastilah ketidakwajaran kenaikan harganya. Jadi, ia merasa dipecundangi.
Bukannya aku membela wisatawan dan malah menyerang sesama warga Jogja, lho. Ini bicara masalah kewajaran belaka. Namun, mau bagaimana lagi?
Masalah serupa ini sedari dulu memang tak kunjung kelar. Usai ada yang berani speak up sehingga viral, memang dikondusifkan. Sayang sekali sekian waktu setelahnya bisa kumat lagi. Entahlah. Mungkin karena penjualnya selalu berganti-ganti atau bagaimana.
Konon harga sewa lahan buat jualan di kawasan Malioboro sangat muahaaal. Maka wajar kalau banyak penjual yang kemudian tak memperpanjang sewa. Buat apa jualan di tempat keren jika hasilnya tak ada. Iya toh?
Yeah. Mengingat cadasnya persaingan hidup di balik makin kerennya Malioboro, gegeran pecel lele tempo hari sebenarnya dapat dimaklumi. Akan tetapi, 'dimaklumi' di sini tidak berarti dibebaskan pasang tarif.
Eladalaaah. Enak saja mau bebas menaikkan harga. No, no. Kesimpulannya tidak begitu, dong.
Hmm. Aku yakin bahwa respons kalian beraneka macam. Ada yang kaget sebab baru pertama kali tahu. Ada pula yang telah tahu sehingga hanya bergumam, "Dan terjadi lagi ...."
O, ya. Sebelum mengakhiri tulisan ini aku hendak memberikan sedikit saran terkait kulineran di Malioboro.
Begini. Kalau merasa lapar saat berada di jalan tenar itu, sementara merasa malu untuk nanya-nanya detil perihal harga makanan dan minumannya, makanlah di Mal Malioboro saja.
Di situ ada lapak beberapa waralaba makanan bermerk internasional, menu Nusantara, bahkan warung padang khusus vegetarian. Harganya malah jelas. Jelas enggak begitu murah, namun terkendali.
O, ya. Terlepas dari keruwetan harga makanannya, Malioboro sesungguhnya tetaplah menarik. Selalu bikin penasaran untuk dikunjungi. Bagi sebagian orang, bahkan selalu bikin rindu.
Kiranya beberapa foto berikut dapat membuat kalian menjadi kian merindukannya.
MORAL CERITA:
Telitilah sebelum jajan.