HALOOO, Sobat PIKIRAN POSITIF. Mohon maaf lahir batin, ya. Bagaimana Lebaran dan liburan kalian kali ini? Membahagiakan? Mengesalkan?
Baiklah. Apa pun warna Lebaran dan liburan kalian, mari bersyukur saja. Kalau mampu bersyukur atas apa pun warna Lebaran dan liburan itu, niscaya bakalan terasa nikmat-nikmat saja kok.
O, ya. Aku hendak menyambung cerita, nih. Dalam postingan sebelumnya, aku 'kan bercerita mengenai kondisi kami, warga Kauman Ngupasan Yogyakarta, yang tengah menunggu kepastian perihal lokasi salat Idulfitri.
Yoiii. Pastilah tulisan tersebut kubuat jelang Lebaran, yang berarti masih Ramadan. Adapun sekarang semua sudah berlalu dan ternyata atas takdir-Nya, kami menunaikan salat Idulfitri di pelataran Masjid Gede Kauman.
Tak berbeda jauh dengan salat Idulfitri yang kami lakukan setahun lalu, saat pandemi Covid-19 masih mencengkeram kuat.
Kerinduan kami untuk kembali salat idulfitri di alun alun utara tak bisa dilunaskan. Kondisinya tak memungkinkan sebab rerumputannya on process menjadi pasir. Sementara projek tersebut baru dimulai jelang Ramadan dan diperkirakan selesai Juli nanti.
Namun terlepas dari projek itu, surat permohonan izin pemakaian alun alun utara (altar) memang ditolak. Kami dipinjami hanya yang selatan. Sementara dahulu alun alun utara dan selatan dipakai semua dan jamaahnya sama banyak.
Jadi, tak mungkinlah kami serta-merta pindahan salat ke alun alun selatan (alkid). Yang biasa salat idulfitri dan Iduladha di altar bukan warga Kauman saja, lho. Penghuni kampung-kampung lain di tepian altar juga salat di situ.
Yeah? Salat Idulfitri itu 'kan istimewa. Tak mengherankan jika orang-orang yang berdomisili jauh dari altar pun ada yang bela-belain melakukannya di altar. Sekalian syiar dan pesiar.
Terlebih sudah dua kali Idulfitri dan dua kali Iduladha tiada pelaksanaan salat di altar. Eh, tahunya malah sami mawon. Sama saja.
Sungguh. Kami tak menyangka bahwa seiring dengan datangnya pandemi Covid-19, datang pula pagar besi tinggi di sekeliling alun alun utara.
Yang baru kami sadari pada Lebaran 2022 ini, ternyata eksistensi pagar = hilangnya akses kami ke alun alun utara. Termasuk akses untuk numpang salat Idulfitri.
Apa hendak dikata? Nasib rakyat jelata. Hahaha! Namun, kami tetap berharap ada keajaiban pada saat Iduladha nanti. Tak jadi soal jika kelak kami salat Iduladha dikelilingi pagar besi tinggi macam dalam kandang singa. Hiyaaah.
Demikian ceritaku tentang Lebaran, terkhusus mengenai salat Idulfitri yang kutunaikan bersama para tetangga dan bukan tetangga. Hmm. Yogyakarta memang istimewa. Selalu punya cerita dan "cerita".
Mohon maaf lahir batin ya, Yogyakarta. Aku malah ngerumpiin situasi dan kondisi altarmu terkini. Hahaha!
MORAL CERITA:
Tak semua rindu bisa dibayar lunas. Buktinya, rindu kami untuk salat Idulfitri di altar masih harus berstatus kredit.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!