Apa kabar Sobat PIKIRAN POSITIF? Tahun baru Imlek 2023 telah berjalan sekian hari, nih. Kalian punya cerita Imlek atau tidak? Tenang saja kalau tidak punya. Silakan baca ceritaku ini saja. Hehehe ....
Baca juga: Kampung Ketandan Yogyakarta
Ceritaku memang bukan cerita tentang perayaan Imlek di kelenteng bersama keluarga, melainkan tentang jalan-jalan istimewa.
Waktunya istimewa, yaitu bertepatan dengan Imlek 2023. Pada tanggal 22 Januari, pas dimulainya Tahun Kelinci Air.
Nah. Waktu yang istimewa itu dipadukan dengan rute tematik yang istimewa, yaitu Kampung Ketandan. Adapun kampung tersebut termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Ngupasan Kemantren Gondomanan Kota Yogyakarta.
Lokasi Kampung Ketandan di utara Pasar Beringharjo. Kalian mudah mencapainya kalau dari Jalan Malioboro. Tinggal masuk gang di sebelah toko Ramayana. Yang gapuranya unik dan megah ini, nih.
Pokoknya masuk saja ke gang itu, lalu susuri saja sampai ke ujung-ujungnya. Cermati pula bentuk bangunan-bangunan yang ada di situ. Niscaya kalian akan menemukan banyak spot instagramable. Terkhusus yang berbau oriental.
O, ya. Teman jalan-jalanku tempo hari juga tak kalah istimewa, yaitu "jamaah" JWT (Jogja Walking Tour) by Malamuseum.
Asal tahu saja, nih. Yang berminat jalan-jalan bersama JWT by Malamuseum selalu banyak sekali. Aku saja kerap tertolak batas kuota peserta. Jadi kalau bisa terangkut sebagai peserta jalan-jalan, sungguh senang rasanya. Serasa jadi orang yang istimewa. Hahaha!
Mas Erwin, story teller andalan JWT by Malamuseum, sekaligus bertindak sebagai pemimpin rombongan. Untuk mengawali jalan-jalan, ia memberikan brainstorming tentang sejarah keberadaan orang Tionghoa di Indonesia (Nusantara). Tujuannya agar kami nanti "nyambung", ketika dijelaskan A-Z di Kampung Ketandan.
Jangan lupa. Rute pilihan JWT saat Imlek 2023 adalah Kampung Ketandan. Salah satu dari kompleks Pecinan yang ada di Yogyakarta.
Dahulu kawasan Ketandan memang menjadi pusat aktivitas bisnis dan kediaman warga Tionghoa. Mereka tinggal di bangunan-bangunan yang berfungsi sebagai toko sekaligus rumah (ruko = rumah toko).
Walaupun sekarang sebagian besar ruko telah menjelma sebagai toko saja, jejak bangunan ala ruko masih bisa dilihat jelas. Bagian bawah untuk toko, bagian atas untuk tempat tinggal.
Lalu, di manakah warga Ketandan kini tinggal? Tentu saja menyebar ke mana-mana di seantero Yogyakarta. Sesuai dengan kemauan dan kemampuan finansial masing-masing.
Ngomong-ngomong dalam tulisan lamaku di blog ini juga, kusebutkan tentang adanya rencana untuk melestarikan dan memugar bangunan-bangunan kuno di Ketandan. Kini setelah sekian tahun berlalu, rencana itu mulai tampak mewujud nyata.
Salah satunya bangunan yang terlihat pada foto di bawah itu. Dahulu, bangunan yang berada di belakang orang-orang itu, tak sebagus sekarang. Kini dipugar setelah dibeli oleh Pemda DIY melalui Dinas Kebudayaannya.
Perlu diketahui bahwa bangunan tersebut dahulu merupakan rumah Tan Jin Sing. Ia adalah keturunan Tionghoa pertama yang diangkat sebagai bupati Yogyakarta. *Insyaallah akan kudetilkan kisah tentang Tan Jin Sing di tulisan selanjutnya.*
Ngomong-ngomong, lihatlah tulisan yang tersemat pada bagian depan (bekas) rumah Tan Jin Sing itu. Persis di bawah atap teritisan ada papan nama bertulisan COSMOLOGICAL AXIS INFORMATION CENTER. Pusat Informasi Sumbu Filosofi.
Apakah itu berarti bahwa kantor BPKSF (Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofi) di situ? Kalau iya, berarti dalam satu bangunan ada dua fungsi. Dugaanku ini berdasarkan pada informasi yang kuterima kurang lebih lima tahun lalu.
Tatkala itu rumah Tan Jin Sing direncanakan menjadi Living Museum bertema kehidupan orang Tionghoa peranakan. Bahkan pada momentum PBTY, Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta, masyarakat umum telah boleh mengunjunginya.
Hmm. Semoga sih, berfungsi ganda. Bukan malah meniadakan fungsi sebelumnya.
Selain rumah Tan Jin Sing, ada pula bangunan ruko yang menerima bantuan untuk pemugaran. Misalnya Toko Anton (sebuah toko kelontong). Terakhir kulihat masih kusam, tempo hari sudah tampak kembali kinclong. Dalam foto berikut ini tampak Mas Erwin sedang berdiri di antara pintu toko dan pintu untuk mengakses ruangan yang dipergunakan sebagai tempat tinggal.
Seperti biasa, jalan-jalan bersama JWT by Malamuseum selalu menggoreskan kesan istimewa. Di mana letak istimewanya? Letaknya di pikiran yang jadi lebih terbuka. Kali ini sehubungan dengan rute yang ditempuh, yaitu Kampung Ketandan yang merupakan Pecinan, kami diajak membenci orang-orang Tionghoa secara kaaffah kalau tidak mau menghapus sentimen negatif terhadap mereka.
Artinya, kalau memang membenci mereka ya jangan sampai mempergunakan apa pun yang ada kaitannya dengan mereka. Misalnya enggak usah makan bakpia, enggak usah makan bakso, bahkan enggak usah membubuhkan kecap setetes pun ke masakan/makanan. Muehehehe ....
Untuk kaaffah memang beraaat. Itulah sebabnya aku memilih untuk tidak membenci. Tentu bukan semata-mata supaya leluasa makan bakso dan bakpia. Lalu, kenapa? Karena aku sadar bahwa aku tidak hidup di masa kolonial Belanda. Yang melakukan pendikotomian rasisme 'kan orang-orang zaman itu.
Alhasil, selepas jalan-jalan para peserta tak cuma membawa lelah dan foto-foto narsis di galeri HP ketika pulang. Inilah yang membedakan JWT by Malamuseum dari JWT lainnya. Kiranya inilah penyebab JWT by Malamuseum menjadi candu bagi kami, orang-orang yang kepo dengan masa lalu suatu tempat.
Demikianlah cerita Imlek 2023 yang kurangkai bersama "jamaah" JWT (Jogja Walking Tour) by Malamuseum. Beneran istimewa 'kan? Semoga bisa membahagiakan kalian dan ada faedahnya. Tunggu tulisan-tulisan sekuelnya, ya.
meriahhhh👍👍👍
BalasHapushehehe iyaaa
HapusEh, iya di Surabaya juga ada walking tour. Apa itu satu agensi ya? Cuma aku blm pernah ikutan karena selalu nggak cocok jadwalnya hehe. Jadi pengen ikutan
BalasHapuspasti beda dengan JWT yang saya ikuti ini karena JWT yang saya ikuti bagian dari Komunitas Malamuseum
Hapuskütahya
BalasHapussivas
hatay
ığdır
trabzon
A37LRJ