Tampilkan postingan dengan label kuliner. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kuliner. Tampilkan semua postingan

Rabu, 04 September 2024

Serbuan Bakpia Kukus

48 komentar
HALO, Sobat Pikiran Positif? Kalian tentu tahu bahwa bakpia merupakan salah satu oleh-oleh khas Yogyakarta. Kalau belum tahu, begitu membaca tulisan ini berarti akan langsung tahu. Yang penampakannya bisa dilihat dalam foto berikut.

Bakpia versi old

Sampai di sini kita sudah satu pemahaman ya, bahwa yang disebut bakpia adalah kudapan yang bentuknya seperti itu. Kalau dideskripsikan dalam bentuk tulisan, bakpia adalah kue berbentuk bulat pipih yang terdiri atas kulit dan isi. Cara pematangannya dengan dipanggang.

Kulit bakpia tipis berwarna putih tepung (karena memang dibuat dari adonan tepung). Kalau sampai ada yang berkulit tebal, berarti isinya sedikit. Itu dianggap sebagai bakpia yang kurang berkualitas. Kurang lezat. Karena enak atau tidaknya bakpia, memang tergantung pada kualitas isinya. Kalau citarasa kulitnya sih tawar-tawar saja.

Lalu, bagaimana halnya dengan isi bakpia? Dibuat dari apa? Kalau sebagai oleh-oleh khas Yogyakarta edisi zadoel, isinya kacang hijau dan kumbu hitam. Kemudian seiring perjalanan waktu, ada penambahan varian isi. Misalnya keju, cokelat, dan ubi ungu.

Kaum lansia, setengah lansia, dan jelang lansia biasanya lebih menyukai bakpia kacang hijau dan bakpia kumbu. Kedua varian itulah yang pada umumnya disebut bakpia asli. Original. Adapun yang isi keju, cokelat, dan ubi ungu disebut bakpia inovasi baru. Biasanya lebih disukai kalangan yang lebih muda.

Sampai di sini semua masih relatif baik-baik saja. Apa pun inovasi varian isinya, bentuk bakpia ya tetap seperti di atas itu. Bentuk dan citarasanya tak berubah drastis. Pembedanya cuma rasa pada adonan isi.

Dalam perkembangannya sekarang, bakpia keju dan bakpia cokelat justru telah makin diakrabi masyarakat. Tidak lagi dianggap asing seperti saat pertama kali muncul. Bolehlah dibilang telah setara dengan bakpia original isi kumbu hitam dan kacang hijau. Dengan kata lain, inovasinya berjalan mulus. No protes-protes.

Namun, lain cerita dengan saat kemunculan bakpia kukus. Terlebih kemunculannya secara masif dan ugal-ugalan. Betapa tidak ugal-ugalan kalau dalam kurun waktu kurang dari setahun, tempat tinggalku dikepung outlet bakpia kukus? Luar biasa 'kan?

Tentu tidak jadi soal kalau bentuk dan citarasa bakpia kukus linier dengan bakpia original yang dipanggang itu. Yang menimbulkan masalah 'kan bentuk dan citarasa bakpia kukus sangat berbeda dengan versi originalnya.

Kulit bakpia original tipis, sedangkan kulit bakpia kukus sangat tebal dan sesungguhnya itu bolu. Bukan the real kulit dari adonan tepung seperti pada bakpia original. Jika makan bakpia kukus, aku bahkan tidak merasa makan bakpia. Yang kurasakan, aku sedang makan bolu. Cake.

Bakpia Kukus

Memang enak, sih. Namun, enaknya bukan dalam kapasitas sebagai bakpia melainkan sebagai cake. Itu pendapatku. Pun, menurut generasi zadoel.

Lain halnya dengan gen Z dan gen alpha. Rupanya mereka lebih suka bakpia kukus. Citarasa bakpia kekinian itu ternyata lebih masuk ke selera mereka. Selera zaman telah berubah tampaknya. Apa boleh buat?

Bisa kumaklumi. Perubahan memang keniscayaan. Hanya saja kalau bakpia original lambat-laun punah, tergantikan total oleh bakpia kukus yang notabene merupakan cake, keterkaitannya dengan sejarah bagaimana? Terputus, dong?

Mungkin aku OVT. Akan tetapi, aku sungguh berharap pemda DIY terkhusus dinas terkait yang berwenang peduli akan hal ini. Jangan sampai bentuk dan citarasa bakpia original hilang begitu saja ditelan waktu.

Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI


Minggu, 05 Mei 2024

Coto Makassar Lao Manre

18 komentar

HALO, Sobat PIKIRAN POSITIF? Aku mau cerita tentang kebahagiaan kecil yang belum lama kurasakan, nih. Hmm. Tak lain dan tak bukan, kebahagiaan kecil yang kumaksudkan adalah tercapainya cita-citaku, yaitu nyicip coto Makassar. Hehe ...

Bagi orang lain, terutama orang Makassar, makan coto tentu hal biasa. Tak patut dijadikan sebuah cita-cita. Namun, jangan lupa. Aku orang Jawa tulen yang berdomisili di DIY. Plus tak punya kerabat/keluarga yang solid buat diajak kulineran. Jadi begitu nemu kawan-kawan yang mau diajak sarapan coto Makassar, senang banget rasanya.

Siapa yang tak hepi? Setelah sekian lama menantikan momentum makan coto, tempo hari bertepatan dengan Hari Buruh 1 Mei 2024, akhirnyaaa aku sukses nyicip coto sekalian burasnya.



Aku dan kawan-kawan tentunya makan coto di Yogyakarta. Tidak jauh-jauh ke Makassar sana. Yeah! Untunglah kotaku merupakan Indonesia mini. Dengan demikian, relatif mudah untuk mencari ragam kuliner dari segala penjuru negeri.



O, ya. Tempo hari aku dan kawan-kawan sarapan coto di Coto Makassar Lao Manre. Lokasinya di depan UNY Karangmalang, Yogyakarta. Tempatnya tak terlalu luas, tapi lumayan nyaman. Malah di sana sini dindingnya dihiasi mural juga.



Gimana menurut kalian? Menyenangkan atau tidak pengalaman sepeleku ini? Haha!

Minggu, 22 Oktober 2023

Abon Brambang Pemboros Nasi

12 komentar
HALO, Sobat PIKIRAN POSITIF? Apakah kalian sedang galau gara-gara lapar? Ingin makan nasi, tetapi bosan sebab lauknya itu-itu saja? Atau, sedang mencari lauk kering yang bercitarasa cetar menggoda?

Tenanglah. Itu solusinya mudah, kok. Tak sepelik urusan copras-capres. Oops!

Hmm. Kita balik ngomongin lauk kering sajalah. Lebih membumi ketimbang ngomongin strategi politik tingkat tinggi. Oke?

Begini. Tempo hari aku merasa ogah-ogahan makan nasi gara-gara bingung hendak pakai lauk apa. Sementara setelah sekian lama makan roti dan mi, aku kangen nasi. Ckckck! Dasar manusia memang banyak maunya.

Kemudian tak dinyana tak diduga, aku melihat sebuah kiriman obrolan di WAG komunitas menulisku. Yang mengirim seorang teman yang biasa kami sapa Bunda Sulis.

Kirimannya berupa foto sebuah produk. Disertai narasi begini: Abon Brambang Dapur Bunda Sulis kembali tersedia, ya.
 

Dokpri Agustina

Wow! Pucuk dicinta ulam tiba. Aku yang sedang mikirin Nicholas Saputra, eh, mikirin lauk maksudnya hihihi ...  menjadi tergugah. Ingin membelinya. Siapa tahu cocok dengan seleraku?

Apesnya, aku malah lupa order gara-gara habis buka WA langsung bikin PR dari kelas menulis. Setelah sekian hari baru teringat lagi.

Singkat cerita, si abon brambang akhirnya sukses kuterima. Harga per botolnya Rp25.000,00 dengan berat 80 gram. Produk ini tanpa penyedap rasa buatan, tanpa pengawet, dan ada logo halalnya. Tersedia dalam 3 kategori rasa, yaitu (1) gurih, (2) pedas, (3) super pedas.

Aku memiliki yang rasa gurih dan pedas. Namun, saat ini yang sudah kubuka (kucicipi) baru yang pedas. Yang ternyata rasanya memang sungguhan pedas.

Semula ketika baru masuk mulut belum terasa pedas, sih. Lambat-laun pedasnya terasa nyata. Wah?! Yang super pedas pasti lebih menggigit pedasnya.
 

Dokpri Agustina

Dokpri Agustina


Menurut estimasiku, yang gurih nanti pasti lebih nyaman kunikmati. Terlebih bagi orang-orang yang takut cabai. Pasti mereka bakalan aman dan nyaman, jika berlauk abon brambang dari Dapur Bunda Sulis ini.

Yeah ... saking nyamannya sampai tak terasa bolak-balik nambah nasi. Hahaha!

O, ya. Abon brambang ini kujadikan lauk nasi putih dan nasi singkong (yang berwarna kuning itu). Semua cocok sekali rasanya. Untunglah aku tak pernah masak nasi dengan jumlah berlimpah ruah. Jadi, tidak bisa nambah-nambah. Amaaan.

Lalu, apa saja komposisi abon brambang itu? Sesungguhnya amat simpel dan minimalis. Sesuai dengan label di tiap botol, komposisinya adalah cabai, bawang, brambang, teri, dan kacang.

Bawang itu maksudnya bawang putih. Adapun brambang adalah bawang merah. Sementara kacang yang dipakai adalah kacang tanah.

Nah, gimana? Sudah terbayangkan atau belum jika semua bahan tersebut digoreng dan disatukan menjadi abon brambang? Yang kemudian dimakan dengan nasi hangat?



Minggu, 24 September 2023

Sekuel Songgo Buwono

56 komentar
HALO, Sobat PIKIRAN POSITIF? Rupanya kali ini kita belum bisa move on ke jenis makanan lainnya.  Ternyata tulisan "Songgo Buwono Atau Songgobuwono?" mesti dibuatkan sekuel.

Mengapa? Alasannya simpel saja. Sebab ada beberapa hal yang belum kutuliskan dalam artikel sebelumnya.

Sementara kalau sekalian dirangkum dalam artikel sebelumnya, bakalan panjang sekali. Tentu berpotensi membosankan. Bisa-bisa malah merusak kebahagiaan kalian, deh.

Lalu, apa saja hal-hal yang hendak kusampaikan dalam sekuel ini? Baik. Mari langsung simak penjelasan berikut.

Pertama, bagaimana cara makan songgo buwono?

Lazimnya dimakan pakai sendok. Oleh karena itu, saat membeli songgo buwono untuk dibawa pulang (bukan dimakan di tempat), dalam kemasannya pun diberi sendok.
 
Tidak bisakah dilahap tanpa bantuan sendok? Bisa-bisa saja, sih. Terlebih kalau ukurannya mini. Relatif gampang dikendalikan dalam genggaman tangan.

Mayonaisnya tinggal dicocolkan ke kulit sus. Sementara acarnya bisa disisipkan ke dalam kulit sus.

Akan tetapi, kalau songgo buwono berukuran normal atau malah lebih besar daripada ukuran normal, lebih mudah kalau menikmatinya pakai sendok.

Jangan lupa. Makin besar ukuran berarti makin banyak isian daging cincang (giling)-nya. Kalau kita asal gigit, isian tersebut dapat berhamburan.

Hmm. Enggak asyik banget jadinya. Sudahlah terbuang, masih pula mengurangi keanggunan.

Kedua, di mana bisa membeli songgo buwono?

Mayoritas respons terhadap tulisan sebelumnya adalah  pernyataan tentang ketidaktahuan perihal songgo buwono. Beberapa orang bahkan menyatakan tekad untuk mencarinya, bila kelak main ke Yogyakarta lagi.

Dua respons tersebut bikin aku terhenyak. Sekaligus berdoa agar kelak usaha mereka mencari songgo buwono dilancarkan-Nya.

Mengapa? Sebab tekad mereka menyadarkanku, betapa songgo buwono "tak segampang itu"  dicari.

Sekalipun berdomisili di wilayah DIY, terkhusus Kota Yogyakarta, ternyata belum tentu sewaktu-waktu dapat membeli songgo buwono.

Saya ngeh-nya tatkala ditanya dua kawan sekota, "Mbak Tinbe kalau beli songgo buwono di mana? Aku enggak pernah nemu di penjual jajanan eee ...."

Sementara mereka sama-sama tinggal di kampung njero beteng. Yang satu di Pura Pakualaman. Yang satunya di Kraton Yogyakarta.

Di sisi lain, aku malah lumayan sering bersikap cuek saat melihat songgo buwono. Bukan sebab tak suka, melainkan tahu diri dengan isi dompet. Bahaya kalau terlalu sering beli songgo buwono.

Sampai di sini, mungkin kalian berpikir pesimis. Kalau warga njero beteng saja begitu, bagaimana halnya dengan wisatawan yang notabene tak berlama-lama di Yogyakarta?

Tenang, tenang. Untuk kaum wisatawan, terutama yang berombongan, bisa memesannya dulu ke produsen songgo buwono. Alamat dan kontaknya bisa cari-cari di internet. Atau, boleh juga bertanya kepadaku.

Saat ini kebetulan aku bertetangga dengan seorang pembuat aneka jajanan. Termasuk songgo buwono. Akan tetapi, camilan ningrat itu hanya dibuatnya ketika ada pesanan.

Kalau ada pesanan dia terbiasa melebihkan jumlah produksi. Misalnya menerima pesanan 20 buah, dia akan membuat 30 sekalian. Yang 10 biasanya dititipkannya di Gudheg Yu Hadi.

Lalu, yang wisatawan perseorangan bagaimana? Tak jadi soal jika ordernya banyak. Kalau cuma mau beli satu, ya ayo persiapkan diri untuk berburu songgo buwono.

Di mana berburunya? Di lapak-lapak penjual jajanan di seantero Yogyakarta, dong. Siapa tahu di antara sekian banyak jajanan, di situ terselip songgo buwono?

Berapakah harganya? Perihal harga tentu tergantung ukuran dan isian. Makin besar makin mahal. Kalau berisi daging sapi, pasti bandrol harganya pun lebih tinggi daripada yang berisi daging ayam.

Begitulah faktanya. Sesuai dengan kemantapan citarasanya, harga songgo buwono memang tak ringan. Terlebih yang kualitas premium.

Ketiga, penjelasan tentang makna filosofi songgo buwono.

Kalian tentu masih ingat penampakan songgo buwono dalam tulisan sebelum ini. Yang ditaruh di piring. Jika lupa, silakan perhatikan saja foto berikut. Hehehe ...
 
Nah. Dalam tulisan terdahulu itu, sempat kusampaikan bahwa songgo buwono mengandung makna filosofis terkait kehidupan manusia. Hanya saja, belum kuberi penjelasan detil.

Baik. Sekaranglah saatnya kita membahas makna filosofi songgo buwono.

Kita mulai dari namanya, ya. Songgo buwono! Yang rupanya terdiri atas dua kata bahasa Jawa  yaitu songgo (menyangga) dan buwono (langit, kehidupan). Dengan demikian, songgo buwono berarti penyangga langit/kehidupan.

Ahaiii. Poin ini sekaligus menjelaskan bahwa penulisan yang benar adalah songgo buwono. Bukan songgobuwono.

Sekarang, mari perhatikan komposisinya. Kita bahas satu per satu, tiap komponen menyimbolkan apa.

Kulit sus menyimbolkan bumi.

Daging sapi/daging ayam menyimbolkan penduduk bumi.

Telur menyimbolkan keberadaan gunung.

Selada, menyimbolkan tumbuhan.

Kuah (mayonaise) menyimbolkan langit.

Acar menyimbolkan bintang-bintang di langit.

Kiranya sampai di sini sudah jelas, ya. Tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Bahkan kalian bisa menengok salah satu komentar panjang di tulisanku terdahulu,sebagai pelengkap informasi.

Percayalah. Begitu kalian mencicipi songgo buwono, makna 'penyangga kehidupan' itu seketika bisa kalian buktikan (melalui rasa kenyang). Haha!

***

Baiklah. Kiranya sudah komplet ceritaku tentang songgo buwono. Insyaallah tulisan berikutnya akan memperbincangkan gecok genem. Jenis makanan ala kraton juga.

Namanya tak kalah unik dari songgo buwono 'kan? Citarasanya pun demikian. Tunggu dengan penuh cinta, ya.

Minggu, 17 September 2023

Songgo Buwono atau Songgobuwono?

46 komentar
APA kabar Sobat Pikiran Positif? Sedang sibuk melakukan apa, nih? Jangan-jangan sedang menikmati songgo buwono? Eh, songgobuwono? Duh! Cara menulisnya bagaimana, sih? Hehehe ...

Oke, oke. Mulai dari tulisan ini hingga dua tulisan berikutnya, hendak kuajak kalian untuk ngomongin makanan tradisional. Namun, makanan tradisionalnya yang edisi spesial.

Mengapa kunyatakan sebagai edisi spesial? Karena asal muasalnya dari Kraton Yogyakarta. Dari dalam tembok kraton.

Jadi, semula hanya dikonsumsi oleh keluarga kerajaan. Bukan merupakan makanan yang biasa dikonsumsi oleh kalangan rakyat jelata.

Yang kemudian seiring dengan berjalannya waktu, menjadi lazim dinikmati oleh siapa saja. Tua, muda, berdarah biru, berdarah warna-warni, kaya, miskin, pokoknya siapa saja.

Pasti kalian penasaran 'kan? Makanan tradisional apa yang dimaksud? Baik. Jreng jreng jreeeng ... Inilah penampakan makanan tradisional yang hendak kita obrolkan sekarang.

It's songgo buwono!


Seperti yang tampak dalam foto, songgo buwono dibuat dari kulit sus basah. Isiannya daging sapi giling dan telur rebus. Pelengkapnya daun selada, acar, dan mayonaise.

Perlu diketahui, songgo buwono dalam foto di atas made in nDalem Benawan. Berisi daging sapi giling. Telurnya telur bebek asin. Citarasanya sungguh lezat. Premium. Tentu harganya pun premium.

Berbeda dengan songgo buwono yang biasa kubeli di lapak jajanan. Yang kisaran harganya sepuluh ribuan. Lebih murah.

Kok bisa lebih murah? Bisa, dong. 'Kan isiannya diganti dengan daging ayam giling. Telurnya pun telur ayam rebus.

Begitulah faktanya. Sedari dahulu, rumusan "ada harga ada rasa" terbukti selalu valid.

Tampilan songgo buwono memang kebule-bulean. Namun, sang pemilik ide pembuatannya adalah Sri Sultan HB VII.

Dari referensi yang kubaca, songgo buwono lahir dari keprihatinan beliau terhadap kondisi rakyat Yogyakarta yang cenderung suka mengonsumsi kudapan berpengawet.

Tatkala itu yang sering dikonsumsi sejenis burger. Yang masa kadaluarsanya lama sebab berpengawet. Sementara songgo buwono cuma tahan sehari dalam suhu ruang.

Sesuai dengan bahan pembuatannya, songgo buwono termasuk kudapan berjenis gurih.

Sementara dalam urutan perjamuan makan yang lengkap, songgo buwono merupakan makanan pembuka. Insyaallah dalam tulisan berikutnya akan kuceritakam makanan utama dan makanan penutupnya.

O, ya. Segala yang berasal dari kraton selalu mengandung filosofi. Demikian juga halnya songgo buwono. Kudapan yang merupakan akulturasi budaya Jawa dan Eropa ini memuat filosofi kehidupan manusia.

Luar biasa 'kan? Sembari mengunyah, kita bisa sembari berpikir keras perihal filosofi tingkat tinggi.


Jumat, 17 Desember 2021

Kampanye #KejuAsliCheck by KRAFT

26 komentar

APA kabar Sobat PIKIRAN POSITIF? Sudah makan sehatkah hari ini? Yoiii. Selalu upayakan untuk mengonsumsi makanan sehat, ya? Ingat. Yang bakalan menyehatkan badan adalah makanan sehat. Bukan makanan sembarangan.

Tentu akan lebih membahagiakan kalau selain sehat, makanan kita juga enak. Misalnya aneka hidangan yang  mengandung keju cheddar berkualitas, baik yang kejunya sekadar ditambahkan sebagai topping maupun dicampurkan sebagai salah satu bahan dasar. 

Fakta Sehat Keju Cheddar 

Sebagai turunan dari susu, pastilah keju cheddar mewarisi segala kebaikan susu.  Termasuk mewarisi kelezatan citarasanya. Yup! Selain enak, keju cheddar mengandung banyak kalsium dan protein plus vitamin D. 

 

Dokpri


Sebagaimana kita ketahui, kalsium dan vitamin D bermanfaat bagi kesehatan tulang dan gigi. Anak-anak hingga orang tua membutuhkannya. Adapun protein merupakan salah satu komponen esensial dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.

Selain yang diuraikan di atas, masih ada beberapa kandungan nutrisi lain dalam keju cheddar. Jadi, tak perlu diragukan lagi bahwa keju cheddar merupakan sumber pangan bercitarasa lezat yang penuh manfaat sehat.

Namun, tolong digarisbawahi bahwa manfaat sehat itu hanya dapat diperoleh jika keju cheddarnya berkualitas. Iya, benar. Di sini kualitas adalah koentjie. Kalau tidak berkualitas, manfaat sehatnya pasti tidak maksimal atau malah tidak ada sama sekali.

Posisi Keju dalam Masyarakat Indonesia

Kini keju bukan sesuatu yang asing bagi orang Indonesia. Telah banyak makanan dan minuman, baik dalam kemasan instan maupun berupa fresh food, yang menawarkan citarasa keju. Terlepas dari tingkatan kualitasnya. Terlepas pula dari jenis keju yang dipakai.

 

Dokpri


Seiring dengan globalisasi (termasuk dalam bidang kuliner), memang terjadi pergeseran selera. Lidah masyarakat makin "terbuka" dan adaptif dengan rupa-rupa masakan dari belahan bumi mana saja.

Pernah mencicipi ayam geprek keju? Atau, gemar mengudap jasuke alias jagung susu keju? Atau, hobi sarapan dengan nasi goreng keju?

Itulah tiga contoh perkawinan keju dengan makanan ala Indonesia. Yang dahulunya sudah nikmat dimakan tanpa topping keju, sekarang menjadi lebih nikmat sebab ada taburan keju parutnya.

Pemakaian keju untuk aneka camilan tentu lebih masif. Bahkan sekarang, merambah pula ke pemakaian untuk minuman. Tentu di samping terkait dengan citarasa enak, pengonsumsian keju pastilah terkait dengan nutrisi yang dikandung.

 

Dokpri


Begitulah adanya. Dari tahun ke tahun, jumlah penikmat dan konsumen keju di Indonesia kian banyak. Kiranya merk-merk keju baru yang bermunculan di pasaran, dapat dijadikan indikator.

Keju Cheddar Paling Disukai

Secara garis besar ada dua macam keju, yaitu keju alami dan keju olahan. Keju alami dibuat dari susu segar, garam, kultur, dan enzim. Sementara keju olahan dibuat dari keju alami dengan tambahan bahan lain termasuk pengemulsi, padatan susu, pengatur keasaman, dan bahan pengawet.

Terkait dengan durasi proses pembuatan dan kepraktisan cara penyimpanan, amat wajar kalau pada akhirnya keju olahan yang lebih banyak beredar di pasaran. Terbukti kini banyak jenis dan merk keju olahan yang dapat kita beli di mana-mana dengan mudah.

Adapun di antara sekian banyak keju olahan, keju cheddar adalah sang juara. Masyarakat Indonesia menyukainya sebab rasa keju cheddar itu asin dan gurih. Cocok diaplikasikan ke berbagai macam makanan dan minuman.

Perlu diketahui bahwa tidak semua jenis keju cocok dipadupadankan dengan aneka makanan dan minuman. Masing-masing memiliki citarasa dan karakteristik tersendiri. Cenderung rumit dihafalkan oleh masyarakat awam.

Itulah sebabnya sangat dimaklumi kalau keju cheddar jadi pilihan utama banyak orang. Istilahnya, kalau punya stok keju cheddar sudah aman. One for all. Bisa dikreasikan dengan hidangan apa saja.

O, ya. Yang dimaksud dengan keju cheddar adalah jenis keju yang teksturnya sedikit keras dan berwarna kuning pucat atau cenderung putih gading. Selain menjadi sumber kalsium yang baik, keju cheddar kaya serat dan protein. 

Lalu, mengapa disebut keju cheddar? Karena asal-muasalnya dari Desa Cheddar yang berlokasi di Somerset, Inggris.

Hasil Survei yang Mengejutkan

Konsumsi keju cheddar yang demikian marak ternyata tidak berbanding lurus dengan pengetahuan khalayak tentangnya. Survei konsumen yang dilakukan oleh KRAFT menunjukkan hasil mengejutkan.

Sejumlah 50 % responden (yang terdiri atas ibu-ibu) mengaku bahwa dalam seminggu, mereka bisa menghidangkan makanan mengandung keju cheddar kepada keluarga sebanyak 1-7 kali.

Akan tetapi, sejumlah 61 % dari responden itu ternyata tidak tahu jika produk keju cheddar olahan di pasaran, tak semuanya berbahan utama keju cheddar. Yang berarti banyak keju cheddar yang kurang berkualitas.

Selanjutnya, sebesar 77 % responden mengaku selalu membaca label klaim nutrisi pada kemasan. Sayang sekali sejumlah 48 % dari mereka tidak paham  betul dengan hal-hal yang tercantum di situ.

Wah, wah, wah. Walaupun tidak menjadi responden, saya jelas termasuk ke dalam golongan orang-orang yang membaca label klaim nutrisi pada kemasan, tetapi minimal sekali kadar ngeh-nya. Belum menjadi konsumen cerdas.

Kampanye #KejuAsliCheck by KRAFT

Berdasarkan hasil survei yang mengejutkan itu, KRAFT melakukan kampanye #KejuAsliCheck. Tentu demi mengedukasi masyarakat yang notabene merupakan konsumen dan calon konsumen produk-produk keju.

Kampanye tersebut merupakan panduan untuk membaca label pangan pada kemasan keju, terutama keju cheddar. Tujuannya untuk membantu para ibu dalam memilih keju cheddar kualitas terbaik.

Seperti kita ketahui, di pasaran tersedia rupa-rupa keju cheddar dari berbagai merk. Kondisi tersebut pastilah lumayan membingungkan bagi orang-orang yang awam tentang dunia perkejuan.

Sementara kemampuan memilih keju cheddar bermutu bagus merupakan awal dari investasi sehat masa depan. Terkhusus investasi sehat bagi si buah hati. Jangan lupa. Hanya keju cheddar berkualitas yang dapat mendatangkan manfaat sehat.

Dian Ramadianti, Senior Marketing Manager Keju KRAFT, menjelaskan bahwa kampanye #KejuAsliCheck dapat diterapkan melalui dua cara mudah.

Pertama, memastikan keju pada urutan pertama komposisi (betul-betul disebut/ditulis pada urutan pertama).

Kedua, memiliki klaim nutrisi pada kemasan.

 

Dokpri


Yup! Melalui kampanye #KejuAsliCheck, KRAFT mengajak masyarakat (utamanya para ibu) untuk pintar dan cermat dalam memilih produk keju cheddar. Jangan sampai salah pilih.

Melalui label pangan yang tercantum pada kemasan, para ibu harus bisa memastikan bahwa keju cheddar yang hendak dibeli benar-benar berbahan utama keju cheddar. Keju cheddarnya mesti berada di urutan pertama komposisi bahan.

Luar biasa mencerahkan kampanye #KejuAsliCheck yang dilakukan KRAFT. Terusterang saja, sebelumnya saya tak tahu bahwa urutan penulisan bahan itu punya makna tertentu. Saya pikir ya asal ditulis lengkap saja. Eh, ternyata urutan penulisan bahannya pun mengandung makna.

KRAFT telah melakukan gerakan edukasi yang amat berfaedah. Tak mengherankan jika saat peluncuran kampanye #KejuAsliCheck, Dra. Indriemayatie Asri Gani, Apt. selaku koordinator BPOM menyampaikan apresiasi dan dukungan penuh. 

Dalam Virtual Press Conference saat peluncuran kampanye #KejuAsliCheck by KRAFT tanggal 3 Desember 2021 itu, beliau menegaskan pula agar ibu-ibu menjadi konsumen yang cerdas. Dalam arti selalu cek ricek kondisi kemasan, label klaim nutrisi, izin edar, dan masa kadaluarsa sebelum membeli suatu produk pangan.  

Keju Cheddar KRAFT Itu Andalan Saya

Sungguh tidak berlebihan jika saya mengatakan, "Keju itu ya KRAFT. Keju cheddar itu ya KRAFT."  Bisa dicek ke anak saya, yang semenjak usia batita hingga sekarang telah akrab dengan keju cheddar KRAFT.

Sebenarnya pernah juga mengonsumsi keju jenis lain dari KRAFT. Akan tetapi, yang paling cocok di lidah kami ya keju cheddarnya. Hmm. Saya kira saya tahu penyebabnya sekarang. Iya, tidak salah lagi. Keju cheddar itu 'kan one for all.

Yoiii. KRAF cheddar memang pilihan produk keju yang tepat untuk berbagai kreasi sajian lezat bermanfaat bagi si buah hati. Standar keaslian kejunya terpenuhi dan telah diperkaya dengan nutrisi.

 

Dokpri


Saya punya kisah menarik terkait keju cheddar KRAFT. Eh? Menarik atau berkesan ya istilahnya? Entahlah. Yang jelas, begini kisahnya.

Dahulu anak saya gemar makan nasi hangat dengan lauk keju cheddar yang diparut. Betul-betul hanya berlauk keju cheddar. Tidak mau ditambahi lauk lain. Sekalipun lauk tambahannya berupa ayam goreng yang juga lauk favoritnya, ia tidak mau. Wow banget 'kan?

Namun seiring bertambahnya usia dan selera makan, ia menolak kalau makan nasi berlauk keju cheddar saja. Tanpa saya tawari pun ia duluan nembung ayam goreng sebagai tambahan lauk.

Lain halnya bila makan nasi goreng. Tanpa lauk apa pun asalkan dipenuhi taburan keju cheddar, ya ayo saja. Pendek kata, kedoyanannya pada keju cheddar KRAFT memudahkan saya dalam memenuhi kebutuhan kalsium hariannya. Setidaknya, keju cheddar KRAFT telah membantu hingga 30 %-nya.

Jangan-jangan kedoyanan anak saya itulah yang membuatnya seperti tak punya rasa lelah. Main kejar-kejaran, bersepeda, lompat-lompat, dan aneka kegiatan fisik yang lain. Pokoknya jejingkrakan melulu. Bahkan, ia sempat terpilih mewakili sekolah untuk lomba lari ketika SD.

Kiranya kesimpulan saya di atas sejalan dengan apa yang disampaikan dr. Rita dalam kampanye #KejuAsliCheck bersama KRAFT beberapa waktu lalu. Beliau menjelaskan, "Keju cheddar juga bisa berperan sebagai sumber energi agar buah hati bisa terus bergerak dan tidak mudah lelah."

Nah 'kan? Sesuai sekali toh? Muehehehe .... Ini ibarat saya berpraktik dulu, belajar teorinya belakangan.

Baiklah. Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa keju cheddar KRAFT telah memenuhi semua kriteria sebagai keju cheddar berkualitas.

Komposisinya sesuai dengan kampanye #KejuAsliCheck, yaitu berbahan utama keju asli New Zealand (ditulis pada urutan pertama) serta dilengkapi nutrisi calcimilk yang kaya akan kalsium, protein, dan vitamin D.

Yoiii. Keju itu ya KRAFT. Keju cheddar itu ya keju cheddar KRAFT. Citarasa gurihnya yang khas dan tanpa perisa tambahan niscaya bikin nagih. Syukurlah ada kampanye #KejuAsliCheck by KRAFT, yang bikin saya tercerahkan dalam hal memilih keju cheddar berkualitas. Pasti ibu-ibu lain juga tercerahkan, deh. 

 

Dokpri


 

Referensi:

https://ibuibudoyannulis.com/wp-content/uploads/2021/12/KRAFT-KejuAsliCheck-Lembar-Fakta.docx

https://ibuibudoyannulis.com/wp-content/uploads/2021/12/KRAFT-KejuAsliCheck-Siaran-Pers.docx

https://katadata.co.id/safrezi/berita/6142edcacffe7/9-manfaat-keju-untuk-kesehatan-dan-diet

https://www.suara.com/lifestyle/2021/12/04/105227/banyak-produk-keju-cheddar-tidak-menggunakan-bahan-asli-pakar-ungkap-cara-membedakannya

 

Sabtu, 06 November 2021

Life Hack Terkait Minyak Goreng

35 komentar

APA kabar Sobat PIKIRAN POSITIF? Masih setia jaga jarak dan menghindari kerumunan? Masih setia memakai masker? Eh, maukah kalau kuajak ngerumpiin minyak goreng? Mau, ya? Hehehehe ....

Begini. Beberapa hari lalu ketika sedang jalan-jalan di negeri twitter, kudapati cuitan seorang kawan. Baca berita hari ini. Harga minyak goreng naik, jadi semua gorengan ini digoreng dengan minyak minimalis. Tetap kriuk dan renyah.

Foto yang disertakannya sebagai pelengkap caption adalah foto sepiring gorengan. Seingatku ada risoles, samosa, dan kentang goreng.

Semua itu jualannya. Ia memang menjual aneka kudapan dalam bentuk frozen. Namun, boleh pula kalau pembeli minta digorengkan sekalian. Aku tahu karena termasuk salah satu pelanggannya.

Harga minyak goreng naik? Waaah. Malah enggak tahu aku. Seriuskah? Kubalas cuitannya.

Benar, Mbak. Ini beritanya. Ia menanggapi sekaligus memberikan sebuah tautan berita terkait.

Langsung aku klik tautan tersebut. Ingin tahu kabar detilnya. Seusai membaca, kubalas lagi cuitannya. Ternyata sudah sejak kemarin. Klo gak baca cuitanmu pasti aku gak sadar klo harganya naik. Hahaha!

Kamu futuristik, Mbak. Idemu memanggang lumpia dan samosa menjadi relate dengan situasi terkini. Tulisnya.

Spontan aku membalasnya dengan sederetan emotikon tertawa lebar.

Lumpia dan Samosa Panggang

Beberapa bulan sebelumnya aku mengunggah foto dua lumpia dan dua samosa dengan caption begini. Dibakar saja supaya lebih sehat dan pastinya hemat minyak goreng. Edisi frozennya kubeli di @namakawantersebut.

Biasalah. Sambil menyelam minum air. Sambil menuntaskan hasrat narsis, sekalian mempromosikan jualan kawan.

Sungguh tak disangka, kawan tersebut tertarik sekali dengan unggahanku. Tepatnya sih, tertarik cenderung heran. Tidak menyangka kalau jualannya kumatangkan dengan cara berbeda.

Baru tahu dia kalau diriku terbiasa mengkhianati resep gorengan. Pokoknya apa pun bahan makanan yang bisa dimatangkan sempurna dengan cara selain digoreng, pasti akan kukhianati walaupun lazimnya digoreng. Contohnya ya lumpia dan samosa tadi. 

 

Lumpia panggang (Dokpri)


Apakah siasat kreatif itu dilandaskan pada semangat untuk hidup lebih sehat? Atau, untuk mendukung gerakan nol emisi karbon?

Seiring waktu berjalan kedua hal tersebut memang menjadi pertimbangan. Namun sejujurnya, semula alasanku simpel belaka: tidak mau boros gara-gara keseringan buang-buang sisa minyak goreng.

Jika kudapan digoreng sesuai pakem, pastilah butuh banyak minyak goreng untuk bisa melakukan deep frying. Kurang lebih butuh dua sendok sayur, jika hendak bikin empat gorengan saja. Jelantah atau sisa minyak bekas pakainya pasti bakalan terbuang.

Lain halnya jika dipanggang. Hanya butuh sedikit minyak goreng untuk mengolesi  kudapan yang hendak dipanggang. Tak bakalan ada jelantah yang mesti dibuang.

Mengapa jelantah tak disimpan dulu? Bukankah masih bisa dipergunakan sekali lagi? Tidak harus dibuang sekali pakai sehingga dapat lebih hemat 'kan?

Mohon maaf. Bukannya sok kaya dan sok sehat, nih. Tradisi menyimpan jelantah memang tidak cocok kupraktikkan. Alasannya, tidak tiap hari dapurku beroperasi. Jadi, jelantah simpanan berpotensi kadaluarsa sebab tak kunjung dipakai. Malah menunda membuang saja.

Nah!  'Kan jatuhnya boros minyak banget kalau aku nekad menggoreng dua lumpia dan dua samosa saja? Itulah sebabnya kubudayakan memanggang.

Mengapa tidak memperbanyak saja jumlah kudapan yang digoreng? Ben sumbut. Wah, yang makan siapa? Anggota keluargaku minimalis sekali. Cuma dua termasuk diriku. 

Teflon Andalan

Bagaimana caraku membakar/memanggang bahan makanan? Pakai alat khusus? Oh, tentu tidak. Senjata andalanku di dapur hanyalah teflon. Jenis teflonnya pun yang standar saja. Bukan yang dilabeli anti lengket. Ini nih, penampakannya.

 

Teflonku (Dokpri)


Kalau untuk bikin telur mata sapi atau telur dadar tetap butuh sedikit minyak goreng atau mentega. Begitu pula jika hendak membakar pisang, tahu, tempe, sosis, nugget, dan aneka kudapan frozen. It's simple.

Tak Perlu Bergantung pada Minyak Goreng

Percayalah. Hidup tak akan berubah menjadi datar hanya karena berjarak dari minyak goreng. Faktanya, sekian lama saya mengkhianati resep gorengan dan hidup masih  terjalani dengan jungkir balik tak keruan.

Nah, lho! Bukankah itu bukti bahwa menjalani gaya hidup minim gorengan tak serta-merta mengubah hidup menjadi datar? Hehehe ....

Jadi kalau ditantang, apa aku sanggup puasa memasak goreng-gorengan? Secepat kilat kujawab, "Siapa takut?"

Mohon jangan salah paham. Puasa memasak dengan minyak goreng tak berarti tak mengonsumsi gorengan lagi, lho. Keduanya beda pengertian.

Tolong camkan baik-baik. Aku tetaplah doyan gorengan. Yang nyaris tidak kulakukan lagi adalah membuat aneka gorengan sendiri. Kalau sedang mengidam the real gorengan, aku beli barang dua atau tiga potong. Jadi, tak perlu ikut pening mikirin kenaikan harga minyak goreng segala.

MORAL CERITA:

Hidup hanyalah tentang adaptasi untuk menyiasati kesulitan ataupun kondisi baru.


Sabtu, 29 Mei 2021

Malioboro dan Pecel Lele Viral Itu

26 komentar

"Kenapa kapitalis banget?!!" Demikian ucapan viral seorang wisatawan yang merasa dipecundangi saat beli pecel lele di Malioboro. 
Malioboro terkini sejak pandemi (Dokpri)

MENURUT penuturannya, pecel lele yang dibelinya dihargai super mahal dan tidak dijual paketan. Dalam arti, tiap komponen dalam menu yang disebut pecel lele itu ada harganya masing-masing. Sepiring nasi dihargai Rp7.000,00, seekor lele goreng seharga Rp20.000, dan lalapannya Rp10.000,00. 

Hmm. Nyebelin memang. Itu asliii nyebelin bin ngeselin. Kalau nasi dan lelenya terpisah masih dapat dimaklumi. Kalau lalapannya juga disendirikan begitu, gimana logikanya dong? Terlebih harganya menjadi sangat mahal untuk kategori menu pecel lele di warung biasa. 

Iya, sih. Saya paham bahwa harga makanan di destinasi wisata kondang seperti Malioboro, pada umumnya di atas rata-rata. Akan tetapi, di atas rata-ratanya tetap masih masuk akal. Tidak seugal-ugalan itu. 

Kalau seporsi pecel lele komplet dengan nasi, lalapan, dan sambal dihargai Rp10.000,00, mestinya di Malioboro cukup dihargai di kisaran Rp20.000,00-an. 

Itu mauku, sih. Andai kata aku bukan orang Jogja, itulah yang kuinginkan saat berwisata ke Jogja. Kalau sampai seporsi pecel lele mencapai Rp37.000,00 dan belum termasuk minum, wah .... 

Itu harga yang mencekik, Jenderal! Auto jera ke Malioboro, deh. Jangankan wisatawan dengan kocek secekak kocekku. Lhah si Mbak wisatawan yang cantik dan keren itu saja protes, kok. 

Aku yakin, ia protes bukan sebab enggak punya duit banyak. Yang ia protes pastilah ketidakwajaran kenaikan harganya. Jadi, ia merasa dipecundangi. 

Bukannya aku membela wisatawan dan malah menyerang sesama warga Jogja, lho. Ini bicara masalah kewajaran belaka. Namun, mau bagaimana lagi? 

Masalah serupa ini sedari dulu memang tak kunjung kelar. Usai ada yang berani speak up sehingga viral, memang dikondusifkan. Sayang sekali sekian waktu setelahnya bisa kumat lagi. Entahlah. Mungkin karena penjualnya selalu berganti-ganti atau bagaimana. 

Konon harga sewa lahan buat jualan di kawasan Malioboro sangat muahaaal. Maka wajar kalau banyak penjual yang kemudian tak memperpanjang sewa. Buat apa jualan di tempat keren jika hasilnya tak ada. Iya toh? 

Yeah. Mengingat cadasnya persaingan hidup di balik makin kerennya Malioboro, gegeran pecel lele tempo hari sebenarnya dapat dimaklumi. Akan tetapi, 'dimaklumi' di sini tidak berarti dibebaskan pasang tarif. 

Eladalaaah. Enak saja mau bebas menaikkan harga. No, no. Kesimpulannya tidak begitu, dong. 

Hmm. Aku yakin bahwa respons kalian beraneka macam. Ada yang kaget sebab baru pertama kali tahu. Ada pula yang telah tahu sehingga hanya bergumam, "Dan terjadi lagi ...." 

O, ya. Sebelum mengakhiri tulisan ini aku hendak memberikan sedikit saran terkait kulineran di Malioboro. 

Begini. Kalau merasa lapar saat berada di jalan tenar itu, sementara merasa malu untuk nanya-nanya detil perihal harga makanan dan minumannya, makanlah di Mal Malioboro saja. 

Di situ ada lapak beberapa waralaba makanan  bermerk internasional, menu Nusantara, bahkan warung padang khusus vegetarian. Harganya malah jelas. Jelas enggak begitu murah, namun terkendali. 

O, ya. Terlepas dari keruwetan harga makanannya, Malioboro sesungguhnya tetaplah menarik. Selalu bikin penasaran untuk dikunjungi. Bagi sebagian orang, bahkan selalu bikin rindu.

Kiranya beberapa foto berikut dapat membuat kalian menjadi kian merindukannya.






MORAL CERITA: 

Telitilah sebelum jajan.

Sabtu, 03 April 2021

4 Fakta Unik Mi Instan

22 komentar

HALO, Sobat PIKIRAN POSITIF? Sudahkah makan mi instan hari ini? Yang edisi rebus atau edisi goreng? Berapa bungkus? Satu bungkus terasa kurang namun dua bungkus kebanyakan, ya? Ditambahi telur dan sayur atau tidak? Masak sendiri? Beli di warung burjo atau warkop? 

Nah, nah. Mengapa kalian senyum-senyum dikulum saat membaca paragraf pembuka di atas? Karena baru saja melahap seporsi mi instan? Atau, malah dua porsi? Hehehe .... 

Enggak usah merasa berdosa gitu, deh. Percayalah. Mi instan itu bukan aib. Mengonsumsinya pun bukanlah sebuah perbuatan dosa. Santuy sajalah. 

Sejauh tidak keseringan dan berlebihan dalam mengonsumsinya, it's ok. Tak jadi soal, apalagi kalau sudah jelas-jelas bersertifikasi halal. Lagi pula, kita dapat menambahkan bahan lain yang lebih bernutrisi (misalnya telur dan sayuran) supaya mi instan yang kita makan lebih berfaedah.

Yeah!  Mi instan memang menggoda. Apa boleh buat? Gurih nikmat MSG-nya bahkan bisa menjadi penghalau gejala flu. Bisa juga menjadi pengusir rasa galau. 

Sudahlah. Pokoknya mi instan itu sesuatu. Kerap dinyinyiri sekaligus dijadikan solusi. Dikatakan sebagai makanan tak sehat, tetapi kenyataannya selalu dijadikan bahan pangan andalan dalam banyak situasi.

Silakan baca juga tulisanku di Kompasiana -- Mi Instan: Dinyinyiri Sekaligus Dijadikan Solusi.

 



Berdasarkan pengamatan dan pengalaman selama bergaul dengan mi instan, akhirnya kutarik kesimpulan bahwa bahan pangan tersebut punya 4 fakta unik. Mari simak satu per satu.

Pertama, mi instan lahir di Jepang, namun pelahap terbesarnya justru warga Cina. Berdasarkan catatan World Instant Noodle Association, pada tahun 2019 Cina mengonsumsi mi instan sebesar 40 miliar porsi. Sementara Indonesia 'cukup' menghabiskan 12 miliar porsi. Berada di urutan kedua setelah Cina,

Kedua, mi instan kerap dikampanyekan tidak sehat, namun sering dipakai sebagai isi paket bantuan sembako.  

Ketiga, banyak orang sadar bahwa sering mengonsumsi mi instan tidak baik bagi kesehatan, namun kenyataannya banyak pula yang nekad menjalankan pola makan tiada hari tanpa mi instan.

Keempat, kuah mi instan rebus, terutama yang rasa kari atau gulai, ternyata makin lezat kalau dicampuri dengan susu bubuk putih (plain).

Demikian keempat fakta unik mi instan. Tentu keunikannya berdasarkan sudut pandangku, ya. Kalau ternyata menurut kalian keempatnya bukan fakta unik, ya tak jadi soal. 

 

MORAL CERITA:

Mari mengonsumsi mi instan secara baik dan benar. 

 

Kamis, 08 Oktober 2020

Mangut Iwak Pe KEN'S SRAWUNG

24 komentar
PANDEMI covid-19 masih berlangsung. Sobat PIKIRAN POSITIF masih sehat-sehat 'kan? Semoga. Pokoknya jangan pernah lelah untuk berpikiran positif. Demi menjaga imunitas tubuh dan pikiran. 

Sebagaimana kita ketahui dan rasakan bersama, pandemi covid-19 sungguh mendinamiskan kehidupan kita. Dalam bidang apa pun. Terlebih dalam bidang perekonomian. Enggak peduli bisnis skala besar ataupun kecil, semua terdinamiskan (baca: terdampak). 

PANDEMI covid-19 memang menumbangkan banyak usaha. Itu fakta. Namun kalau dikulik dengan teliti, ternyata juga menumbuhkan bibit usaha baru. Salah satu contohnya adalah KEN'S SRAWUNG.

KEN'S SRAWUNG yang berlokasi di seberang Pasar Ngasem (tepat di timur pertigaan) merupakan sebuah usaha kuliner yang dibuka pasca Lebaran 2020. Berbagai menu makanan berat, camilan, dan minuman tersedia di situ. Namun, signature-nya adalah paket mangut.  

Nah. lho. Apakah kalian penyuka mangut? Kalau iya, pastilah langsung menetes air liur melihat foto berikut. Muehehehe .... 





Di atas itu merupakan foto Mangut Iwak Pe (ikan pari yang diasapi) yang kupilih tempo hari. Sebagaimana penampakannya yang menggiurkan, citarasanya memang oke punya. Nendang. Kuah santannya segar pedas dan kekentalannya pas. 

Bagaimana harganya? Tak usah khawatir. Harganya pun pas. Seporsi begitu plus nasi hanya dibanderol belasan ribu (under 15 K). Jadi kalau cuma ada duit dua puluh ribu di saku, tetap bisa makan sembari kongkow di KEN'S SRAWUNG. 

Enggak minum, dong? Siapa bilang? Dengan uang sejumlah itu, kalian bisa tetap bergaya memesan Sereje (Sere Jahe) gula batu. Yang penyajiannya tidak langsung di gelas, tetapi di teko blirik. Asyik 'kan? Sudahlah minim bujet, masih pula teko bliriknya jepretable. Hahaha!






Selain bisa makan di tempat atau beli dibungkus, aneka menu KEN'S SRAWUNG dapat dipesan melalui Go Food dan Grab Food. Silakan tengok saja bila kalian punya aplikasinya. Namun saranku, jauh lebih bagus kalau kalian langsung datang ke lokasi. 

Mengapa? Sebab selain menikmati makanannya, kalau makan di tempat kalian bisa sembari nongki-nongki. Meskipun kecil, warungnya bersih dan nyaman. Bangunan dan perabotnya pun lumayan bernuansa kekunoan. Seperti kursi penjalin yang kududuki tempo hari. 





Ah, sudahlah. Tak perlu aku berpanjang-panjang kata lagi. Skuy, segera jumpai aku di situ. Enggak usah takut nyasar. Lokasinya strategis. Seberang Pasar Ngasem, pas timur pertigaannya. Kita bergaul alias srawung di situ. Yup! KEN'S SRAWUNG memang berarti 'disuruh srawung alias berkawan alias bergaul'.












Selasa, 17 Desember 2019

Lopis Mbah Satinem Yogyakarta

2 komentar
HALO Sobat Pikiran Positif ....

Kali ini izinkan aku untuk bercerita tentang lopis yang mendunia. Tepatnya, yang mendunianya dari Yogyakarta.  Nah, nah. Pasti kalian langsung kepo. Haha!  Lopisnya seperti apa, sih? Kok bisa mendunia? Bisa, dooong. 'Kan lopis bikinan Mbah Satinem. 

Sebetulnya sudah sangat lama aku tahu simbah ini. Tapi ya gitu, deeeh. Melihat antrean pembelinya yang super duper panjang, aku malas untuk mampir. Maka tempo hari saat melewatinya dan sepi (sesepi hati ini ahaiii ... ), spontan aku mampir. Daripada penasaran seumur hidup 'kan? 

Berhubung sepinya sebab sudah siang (kurang lebih pukul 08.00 WIB), yang berarti sudah tinggal sisa-sisa, ya sudah. Aku cuma menjumpai lopis dan klepon. Tentu saja aku pilih lopis. Yang ternyata ukurannya sebesar lontong! Yeah, itu lopis terbesar yang pernah kulihat dan kupegang. *Aku meminta izin simbah untuk memegang-megangnya*





Harganya? Sepincuk ukuran sedang Rp5.000,00. Rasanya? Standar, sebagaimana halnya rasa lopis pada umumnya. Yang istimewa juruhnya. Tampak kental dan kuduga rasanya manis legit. 

Mengapa kuduga? Sebab aku menolak makan lopis pakai juruh. Bagiku, lebih nylekamin pakai kelapa parut saja. 

Lalu, mendunianya di mana? Di Netflix laaah .... Lopis Mbah Satinem ini 'kan tayang dalam serial "Street Food"-nya. Teruuus, netizen kian mengenalnya saat Lee Seung Gi (artis Korea) dan Jasper Liu (artis Taiwan) mampir jajan juga di situ. 

Sebab mendunia itulah, khalayak ramai pun jadi penasaran untuk mencicipinya. Alhasil demi ketertiban antrean panjang para pembeli, disediakanlah girig (kartu nomor antrean). Seperti antrean di klinik bersalin 'kan?  Haha!




MORAL CERITA:
Banggalah dengan jajanan tradisional yang kita punya. Buktinya bisa terkenal di dunia internasional. Iya 'kan?




Jumat, 22 Februari 2019

Ayo Sertifikasikan Kehalalan Produkmu

23 komentar
SIANG tadi akhirnya aku menyambangi Jogja Halal Food Expo 2019. Terpaksa sendirian sebab kemarin sore, kawan-kawanku sudah ke situ. Apa boleh buat? Aku ketinggalan rombongan. Maka mau tak mau, hari ini aku terpaksa pergi sendiri.

Pintu masuk ke pameran


Sebegitu pentingkah acara yang berlangsung dari 20-24 Februari 2019 itu? Oh, pasti. Pasti sangat penting bagiku. Bagi kalian juga. Bagi siapa saja. Terkhusus bagi yang muslim. Jogja Halal Food Expo gitu, lho. Pasti terkait erat dengan makanan-makanan halal. Yang tentunya sangat dekat dengan hidup keseharian kita. 

Dan kuduga, di acara tersebut aku bakalan memperoleh aneka informasi seputar makanan halal. Tentu sekalian membeli makanan-makanan halal yang dijual di situ. Nah, lho. Berarti berfaedah sekali 'kan? Jadi, aku bertekad kuat untuk mengunjunginya. 

Talk Show Sertifikasi Halal

Singkat cerita aku tiba di JEC, Jogja Expo Center, kurang lebih pukul 13.30 WIB. Dengan sedikit digelayuti kehampaan sebab tiada berkawan, aku melihat-lihat stan peserta pameran. Belum juga menemukan stan yang menarik minat, pandangan mataku sudah terbentur sesuatu. Yakni kesibukan sekelompok orang di panggung. Kelihatannya mereka sedang menata meja kursi untuk sebuah acara. 

Daripada kepo tiada ujung, aku kemudian bertanya kepada seseorang, "Mau ada acara ya, Bu?" 

Ibu yang kutanya menjawab, "Iya. Jam dua ini. Sebentar lagi. Talk show tentang sertifikasi halal." 

"Bayar? Daftarnya di mana?" 

Ibu itu menjawab, "Gratis. Langsung ikut saja." 

Demi mendengar jawaban itu, aku mengurungkan niat untuk berkeliling stan. Kutunda dulu keliling-kelilingnya. Rencanaku setelah talk show usai, baru lanjut. 

Berswafoto sebelum acara dimulai

Para narasumber beraksi


Beruntunglah aku bisa hadir di acara tersebut. Bahkan, untungnya banyak. Betapa tidak? Aku menjadi tahu tentang arti dan tatacara mendapatkan sertifikat halal bagi sebuah produk. Dan sedihnya, menjadi tahu pula bahwa baru sedikit pelaku usaha yang punya sertifikat halal untuk produknya. Konon dari sekian ratus ribu UKM kelompok makanan, baru sedikit yang punya sertifikat halal. Huft! Memprihatinkan sekali. 

Padahal, mayoritas konsumen Indonesia adalah muslim. Para pelaku usahanya sendiri juga mayoritas muslim. Sosialisasi pada mereka pun telah sering dilakukan. Tapi apa boleh buat? Konsumen Indonesia rata-rata kurang peduli dengan status kehalalan produk yang dikonsumsi. Jadinya ya para pelaku usaha kurang antusias untuk melakukan sertifikasi produk mereka.

Meskipun pemerintah telah berdaya upaya agar para pelaku usaha mengurus sertifikasi halal, konsumen yang kurang peduli lebih berpengaruh. Padahal, ada banyak manfaat dari sertifikasi halal. Di antaranya (1) menambah nilai jual produk, (2) memperluas pasar hingga mancanegara, (3) memperbesar omzet penjualan.

Sekali lagi, apa boleh buat? Para pelaku usaha mesti disadarkan tentang esensi halal. Dengan demikian, mereka dapat bersegera melakukan sertifikasi halal atas produk mereka. Imbauan ini termasuk ditujukan kepada kalian, ya. Siapa tahu kalian pelaku usaha yang juga belum melakukan sertifikasi halal?

Demikian oleh-oleh ilmu yang kudapat dari Jogja Halal Food Expo 2019. Yang narasumbernya dari Dinas Koperasi UKM DI Yogyakarta (yang kantornya sekompleks dengan markas PLUT-KUMKM DI Yogyakarta), MUI DIY, dan Fania Food. Adapun oleh-oleh yang kubawa pulang adalah tahu bakso dan Bakpia Obong.
 

Penampakan sebagian stan peserta

Tahu bakso yang kubeli


Bakpia Obong yang kubeli




 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template